
JAKARTA, AmanMakmur— Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Provinsi Riau. Sedikitnya 10 orang diamankan dan diperiksa secara intensif, termasuk Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR, lima kepala UPT, satu tenaga ahli gubernur, dan seorang kepercayaan sang gubernur.
Dalam operasi itu, KPK juga mengamankan uang tunai sebesar Rp1,6 miliar sebagai barang bukti.
Kasus ini menambah panjang daftar kepala daerah di Riau yang tersangkut korupsi.
Dalam catatan KPK, Provinsi Riau sudah empat kali terjerat kasus korupsi di tingkat pemerintahan provinsi, belum termasuk lima bupati yang juga pernah terlibat kasus serupa.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa praktik korupsi masih terus berulang di daerah yang dikenal religius dan beradat kuat seperti Riau?
Korupsi yang Klasik dan Sistemik
Guru Besar IPDN dan pakar otonomi daerah, Prof Dr Djohermansyah Djohan, MA, menilai bahwa kasus-kasus korupsi di daerah bukan lagi hal baru, melainkan persoalan sistemik yang terus berulang, terutama di sektor pengadaan barang dan jasa.
“Korupsi di kalangan pemerintah daerah, termasuk di Riau, sudah seperti penyakit lama yang tak kunjung sembuh.
Bidang pengadaan barang dan jasa, terutama infrastruktur, masih menjadi ladang empuk penyimpangan,” ujar Djohermansyah saat diwawancarai di Jakarta, kemarin.
Ia mencatat, sejak era otonomi daerah bergulir tahun 2005, sebanyak 39 gubernur di Indonesia telah tersangkut kasus korupsi.
“Ini menunjukkan bahwa problemnya bukan pada individu semata, melainkan sistem politik dan tata kelola pemerintahan yang belum bersih,” tegas Prof. Djohermansyah (5/11/2025).
Pilkada Mahal, Kepala Daerah Cari Balik Modal
Menurut Prof. Djohermansyah, akar dari banyak kasus korupsi kepala daerah justru berawal dari mahalnya biaya politik dalam Pilkada.
“Modal untuk menjadi kepala daerah itu besar. Mereka harus emembayar mahar politik ke partai pengusung, membeli suara, ongkos saksi membiayai tim sukses dan kampanye. Setelah terpilih, ada dorongan kuat untuk mengembalikan modal itu,” jelasnya.
Ketika para kepala daerah masuk ke jabatan publik, lanjutnya, mereka membawa beban utang politik dan finansial.
“Demokrasi kita sebenarnya sudah bagus secara sistem, tapi kalau pelakunya korup, maka administrasi pemerintahan jadi ikut dipaksa melayani kepentingan balik modal,” katanya.
Integritas Tak Sejalan dengan Nilai Adat dan Agama
Menanggapi banyaknya kasus korupsi di Riau, sebagian pihak mempertanyakan ke mana nilai-nilai adat Melayu dan ajaran agama yang selama ini menjadi identitas masyarakat setempat.
Prof Djohermansyah, yang pernah menjabat Penjabat Gubernur Riau pada 2013–2014, menyebut bahwa akar masalahnya bukan pada lemahnya budaya, melainkan tidak tersambungnya nilai moral dengan perilaku pejabat.
“Orang Riau itu agamis dan beradat kuat. Ada tunjuk ajar Melayu, ada nilai agama yang kuat. Tapi dalam praktik kekuasaan, nilai-nilai itu tidak lagi jadi pedoman. Integritas berbasis adat dan agama itu yang dikesampingkan,” ujarnya.
“Jatah Reman”: Gaya Baru Pemerasan
Fenomena “jatah reman” yang terungkap dalam OTT kali ini, menurut Djohermansyah, merupakan bentuk pemerasan atau ekstorsi, bukan sekadar suap.
“Kalau saya cermati, ini bukan kasus suap biasa. Ini lebih ke pemerasan. Pengusaha yang dapat proyek diminta setoran. Ada tekanan, ada pemaksaan. Ini sama seperti kasus di Kementerian Ketenagakerjaan kemarin,” jelasnya.
Ia menilai praktik seperti ini merugikan publik karena berpotensi menurunkan kualitas pekerjaan. “Kalau kontraktor dipaksa setor, pasti spesifikasi proyek diturunkan. Akhirnya masyarakat yang rugi,” tambahnya.
Namun, Djohermansyah juga mengingatkan bahwa pengawasan pemerintah kini semakin ketat. “Hati-hati, sekarang banyak pengawasan. Tapi tetap saja, kalau sistemnya tidak diperbaiki, peluang penyimpangan masih terbuka,” tegasnya.
Perlu Reformasi Sistem Pilkada
Prof. Djohermansyah menilai solusi mendasar untuk memutus rantai korupsi kepala daerah adalah reformasi sistem Pilkada agar tidak lagi berbiaya tinggi.
“Saya tidak yakin kasus di Riau ini yang terakhir. Akan ada lagi jika akar masalahnya tidak diselesaikan. Perbaiki dulu sistem Pilkada kita. Kalau ongkosnya mahal, korupsi akan terus jadi jalan pintas, nilai adat dan agama kalah sama pragmagisme politik,” katanya.
Ia menutup dengan harapan agar KPK tetap bekerja serius tanpa pandang bulu.
“Semoga KPK makin kuat dan konsisten, tidak main-main. Karena hanya penegakan hukum yang tegas dan sistem politik yang sehat yang bisa menyelamatkan daerah dari korupsi,” pungkasnya.
(R/Wiztian Yoetri)












