
Oleh Irdam Imran
(Pengamat Politik dan Budaya)
DI NEGERI yang kadang tertutup kabut ambisi, Purbaya hadir—seperti daun yang terbawa arus sungai oligarki, dekat dengan bisik Luhut, namun jauh dari mata air nurani rakyat. Arus itu gemuruh, tapi bukan untuk menyejukkan, melainkan menutupi sinar kebenaran yang sederhana, yang lahir dari kejujuran dan keadilan.
Pada 9 September 2025, mahasiswa berdiri di depan gedung DPR RI. Suara mereka adalah embun fajar, menembus kabut gelap, menolak bayangan oligarki yang mencoba menundukkan hati nurani. Mereka menuntut kepemimpinan yang bersih, adil, dan tulus—bukan tirani yang dibalut legitimasi politik semu. Setiap teriakan, setiap langkah, adalah doa yang mengalir dari hati yang murni, menegaskan: kebenaran tidak bisa dibungkam.
SMI, yang berpihak pada elit dan birokrasi, berjalan di jalur yang menutupi cahaya. Mereka lupa, kekuasaan yang menindas nurani adalah kabut yang tak akan pernah memberi berkah. Purbaya, di tengah penolakan ini, seperti emas yang ditempa api: ujian membakar, memurnikan, menyingkap siapa yang teguh pada nurani dan siapa yang hanyut oleh bayangan kekuasaan.
Seperti sungai yang mengalir tanpa lelah menuju samudera, cahaya keadilan akan menembus semua kabut. Mahasiswa, pasar, dan rakyat adalah mata airnya. Nurani yang jernih adalah pelita yang tak bisa dipadamkan oleh oligarki.
Dan bagi Purbaya, pilihan abadi menunggu: tunduk pada arus kekuasaan atau istiqamah menegakkan amanah rakyat dengan hati yang bersih, tangan yang memberi, dan langkah yang menyejukkan bumi yang haus keadilan.
Di sinilah pelajaran sufistik politik: kekuasaan yang mengekang nurani akan sirna, tetapi cahaya kebenaran dan keadilan akan tetap bersinar, menuntun langkah mereka yang sabar dan tulus, hingga negeri ini kembali bernapas dalam kesejukan nurani dan ketulusan hati. *)












