
Oleh: Novita Sari Yahya
(Penulis dan Peneliti)
BANYAK pelajaran yang didapat dari eskalasi demonstrasi pada tanggal 25-30 Agustus 2025 baru lalu.
Ketika membaca kisah seorang ibu yang mengembalikan jam tangan mewah milik Ahmad Sahroni senilai Rp11 miliar yang diambil anak remajanya saat penjarahan di rumah Sahroni pada 30 Agustus 2025, serta seorang pria yang mengumpulkan barang-barang berserakan di jalanan dari rumah Sri Mulyani dan mengembalikannya, saya tersentuh.
Kisah ini mengajarkan banyak hal tentang kehidupan marhaen dan makna kejujuran bagi rakyat kecil.
Marhaen: Simbol Rakyat Kecil
Istilah “Marhaen” diciptakan Soekarno untuk menyebut rakyat kecil, terinspirasi dari percakapannya dengan seorang petani penggarap.
Marhaen mewakili kelompok terbesar dalam piramida masyarakat Indonesia, seperti petani, nelayan, pedagang kecil, dan buruh. Mereka adalah pekerja keras yang bangun pagi, berkeringat di bawah terik matahari di sawah atau laut, dan berjuang di tengah hujan untuk menjajakan dagangan di jalanan.
Berbicara tentang marhaen membuat hati saya terenyuh. Para pendiri bangsa berjuang untuk menyejahterakan kelompok ini, namun kenyataannya, marhaen sering kali menjadi kelompok terpinggirkan dalam kebijakan negara. Dominasi kapitalisme dan penguasaan sumber daya oleh segelintir pihak membuat mereka terus tertindas.
Pandangan Pendiri Bangsa tentang Marhaenisme
Marhaenisme, konsep yang dikembangkan Soekarno, menggabungkan nasionalisme, sosialisme, dan semangat gotong royong untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Berikut pandangan para tokoh pendiri bangsa;
Soekarno: Melihat marhaen sebagai simbol rakyat kecil yang harus dibebaskan melalui Marhaenisme, kombinasi nasionalisme dan sosialisme. Dalam Di Bawah Bendera Revolusi (1959), ia menyatakan, “Rakyat Marhaen harus jujur dan tulus, karena itulah yang membedakan kita dari penjajah yang licik.”
Mohammad Hatta: Menekankan pemberdayaan marhaen melalui koperasi dan ekonomi kolektif. Dalam pidato pada Kongres Pemuda 1928, Hatta berkata, “Kejujuran rakyat kecil adalah modal utama bangsa merdeka; tanpa itu, kemerdekaan hanyalah ilusi.”
Sutan Sjahrir: Berfokus pada pendidikan dan modernisasi untuk memajukan marhaen. Dalam Out of Exile (1949), ia menulis, “Rakyat Marhaen harus belajar kejujuran dari pengalaman penjara Belanda; itu satu-satunya cara menghadapi diplomasi licik.”
Tan Malaka: Melihat marhaen sebagai kekuatan revolusioner. Dalam Madilog (1943), ia menyatakan, “Kejujuran rakyat Marhaen adalah dialektika materialis yang melawan idealisme kosong dan membangun republik.

Marhaenisme dan Konsep Gotong Royong
Marhaenisme menekankan pentingnya gotong royong dalam menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Gotong royong diartikan sebagai kerja sama dan saling membantu untuk mencapai tujuan bersama. Dalam konteks Marhaenisme, gotong royong merupakan salah satu pilar utama dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur.
Pelajaran dari Kejujuran Marhaen
Kisah ibu dan pria yang mengembalikan barang curian menggambarkan nilai malu dan batasan yang kini hilang dari banyak pejabat. Pejabat yang korup atau memamerkan kekayaan seharusnya malu, belajar dari marhaen yang hidup sederhana, bekerja keras, dan menjunjung etika.
Mari kita renungkan kutipan Tan Malaka: “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”
Kesimpulan
Keempat tokoh pendiri bangsa sepakat bahwa kejujuran marhaen adalah nilai inti perjuangan kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. Soekarno menekankan nasionalisme idealis, Hatta berfokus pada ekonomi praktis, Sjahrir pada rasionalitas diplomatis, dan Tan Malaka pada revolusi radikal.
Nilai-nilai ini relevan dalam diskusi anti-korupsi saat ini. Marhaen mengajarkan kita tentang hidup sederhana, kerja keras, dan etika.
————————
Sekilas Penulis
Novita Sari Yahya adalah penulis dan peneliti. Buku-bukunya antara lain; Romansa Cinta, Padusi: Alam Takambang Jadi Guru, Novita & Kebangsaan, Makna di Setiap Rasa: Antologi 100 Puisi Bersertifikat Lomba Nasional dan Internasional, Siluet Cinta, serta Pelangi Rindu

(Putrie)












