
Oleh: Irdam Imran
(Mantan Birokrat Parlemen Senayan, Kini Pengurus Partai Ummat, Cilodong – Depok)
NEGARA tanpa mekanisme pertanggungjawaban hanyalah panggung oligarki, tempat kekuasaan berputar di tangan segelintir elit, sementara rakyat hanya menjadi penonton yang tak pernah diajak bicara.
Inilah yang hari ini kita rasakan: demokrasi yang kian formalistis, jauh dari semangat konstitusi asli Republik ini.
Aksi demonstrasi mahasiswa 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR RI, yang berakhir ricuh dengan diamankannya ratusan demonstran, adalah alarm politik yang keras.
Kritik terhadap kegagalan 10 tahun pemerintahan Jokowi bukan sekadar ungkapan kekecewaan, melainkan jeritan dari ruang kosong akuntabilitas. Rakyat dan mahasiswa kehilangan ruang konstitusional untuk menagih janji—sehingga jalanan kembali menjadi satu-satunya pilihan.
Padahal, dalam UUD 1945 sebelum amandemen, presiden adalah mandataris MPR. Setiap kebijakan besar negara wajib dipertanggungjawabkan di sidang MPR yang disaksikan publik.
Dengan dihapuskannya mekanisme itu, presiden berjalan tanpa kewajiban laporan formal di hadapan rakyat. Konsekuensinya, kekuasaan tumbuh tanpa kontrol, dan rakyat dipaksa melawan dengan demonstrasi.
Bung Hatta sudah jauh-jauh hari mengingatkan: “Demokrasi tanpa kontrol rakyat hanyalah kediktatoran yang berkedok.” Kemudian Gus Dur pun menegaskan, “Kekuasaan itu harus diawasi, sebab kalau tidak, ia akan cenderung korup.”
Pandangan ini sejalan dengan Francis Fukuyama yang menulis bahwa negara hanya akan kuat jika tunduk pada konstitusi dan ditopang oleh civil society yang kritis.
Oleh karena itu, demonstrasi 25 Agustus dan potensi gerakan mahasiswa 28 Agustus bukan sekadar episode protes, melainkan cermin dari pincangnya sistem politik pasca-amandemen.
Jalan keluarnya bukan dengan membungkam mahasiswa, melainkan dengan kembali ke supremasi konstitusi.
Pertama, MPR RI harus dikembalikan sebagai lembaga tertinggi negara, pengawal arah bangsa.
Kedua, Presiden harus kembali menjadi mandataris MPR, dengan kewajiban laporan pertanggungjawaban periodik di hadapan rakyat.
Ketiga, Supremasi konstitusi ditegakkan, agar demokrasi bukan sekadar ritual elektoral, melainkan ruang akuntabilitas berkesinambungan.
Jika mekanisme ini ditegakkan, rakyat tak perlu lagi berteriak di jalanan. Aspirasi mahasiswa, pelajar, dan masyarakat dapat kembali menemukan rumahnya di ruang konstitusi.
Sejarah membuktikan, setiap kali bangsa ini mengabaikan konstitusi, rakyatlah yang membayar mahal akibatnya. Karena itu, kini saatnya kita pulang ke jalan konstitusi. Supremasi konstitusi adalah benteng terakhir demokrasi.
Namun perjuangan tidak boleh berhenti di sini. Kita sedang menuju 2029, momentum penting untuk membangkitkan kembali civil society yang kuat, mandiri, dan berakar di masyarakat. Civil society yang berani mengawal supremasi konstitusi akan menjadi penyeimbang kekuasaan, sekaligus fondasi bagi lahirnya politik baru yang bersih, rendah hati, dan berpihak pada rakyat.
Bangsa ini membutuhkan kebangkitan politik rakyat, bukan politik transaksional. Dari kampus ke kampus, dari warung kopi ke pasar, dari kampung ke kota—gerakan civil society harus hidup kembali, agar demokrasi Indonesia kembali menemukan rohnya: kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di genggaman oligarki. *)