
Oleh: Irdam bin Imran
(Pengamat Sosial dan Politik)
AGUSTUS seharusnya menjadi bulan sakral Republik. Pada 17 Agustus 1945, bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya. Tak lama kemudian, UUD 1945 ditetapkan sebagai konstitusi. Proklamasi dan konstitusi adalah tonggak yang menjadikan Agustus bulan persatuan, bukan kegaduhan.
Namun, Agustus 2025 justru diwarnai ironi. Publik disuguhi isu pemakzulan kepala daerah—dari Bupati Pati hingga Gubernur Jawa Barat. Belum reda kegaduhan itu, muncul unjuk rasa besar menuntut pembubaran DPR RI yang berakhir ricuh dan anarkis.
Pemakzulan sejatinya adalah mekanisme konstitusional. Tetapi bila dijadikan alat intrik politik, ia berubah menjadi persekongkolan. Unjuk rasa adalah hak rakyat. Namun bila kehilangan akhlak dan menjelma anarkisme, yang terbakar bukan hanya gedung DPR, melainkan martabat demokrasi itu sendiri.
Al-Qur’an menegaskan: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8). Pesan moral ini seharusnya menjadi pegangan pejabat maupun rakyat. Sayangnya, keadilan kini sering dikalahkan oleh nafsu kuasa dan amarah jalanan.
Agustus mestinya menjadi bulan taubat politik. Dari proklamasi kita belajar keberanian, dari konstitusi kita belajar ketertiban. Jangan biarkan bulan bersejarah ini tercatat sebagai bulan pemakzulan yang penuh intrik, atau bulan demonstrasi yang berujung anarkis.
Republik lahir dari keberanian dan kejujuran. Agustus harus tetap dikenang sebagai bulan proklamasi dan konstitusi—bukan bulan perebutan kuasa yang memalukan. *)












