
Oleh: Irdam Imran
(Alumni FISIP Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Angkatan 1985)
SEJAK muda, saya menjadikan Yasser Arafat sebagai tokoh idola. Bukan hanya karena kefasihannya dalam diplomasi atau kharismanya sebagai pemimpin rakyat tertindas, tapi karena keyakinannya bahwa kemerdekaan harus diraih tanpa kehilangan legitimasi moral dan politik.
Arafat mengajarkan bahwa sekalipun tanah kita direbut, kehormatan perjuangan tak boleh dilepas.
Dalam sejarah panjang perjuangan Palestina, Arafat tampil sebagai wajah diplomasi. Lewat PLO (Palestine Liberation Organization). Ia membawa suara Palestina ke panggung dunia, dari mimbar PBB hingga meja perundingan di Oslo.
Ia tahu bahwa dunia hanya mau mendengar mereka yang bisa bicara dalam bahasa diplomasi, bukan hanya bahasa senjata.
Namun, tidak semua rakyat Palestina merasakan hasil dari diplomasi itu. Dari puing-puing Gaza, lahirlah Hamas, dengan pendekatan yang jauh berbeda. Mereka tak percaya lagi pada kompromi. Bagi Hamas, pendudukan hanya bisa dilawan dengan kekuatan, bukan perundingan. Mereka percaya bahwa musuh hanya menghormati kekuatan, bukan kesepakatan.
Dua Jalan, Satu Tujuan
Yasser Arafat memilih jalan sulit: membangun kepercayaan global, menerima kompromi politik, bahkan dituduh “terlalu lunak” oleh bangsanya sendiri. Tapi warisan Arafat adalah fondasi negara Palestina modern—lembaga, paspor, perwakilan resmi di dunia internasional.
Hamas memilih jalan lain: mengangkat senjata, menolak kesepakatan, dan bertahan di medan perang. Mereka menjadi simbol perlawanan keras, tetapi juga membawa Gaza ke dalam penderitaan panjang: blokade, kehancuran, dan isolasi.
Diplomasi Tanpa Hasil vs Perang Tanpa Akhir
Pertanyaannya: apakah diplomasi Arafat gagal? Ataukah perlawanan Hamas terlalu mahal? Rakyat Palestina, yang menjadi korban dari keduanya, mungkin punya jawabannya. Mereka lelah menunggu hasil dari perundingan yang tak kunjung selesai. Tapi mereka juga lelah menyaksikan anak-anak mereka mati karena bom dan peluru.
Saya percaya bahwa perjuangan bangsa yang besar membutuhkan sintesis—bukan dikotomi. Diplomasi tanpa kekuatan dianggap lemah. Tapi kekuatan tanpa arah politik justru menjauhkan dari kemerdekaan yang sejati.
Palestina Butuh Kesatuan
Hari ini, ketika dunia kembali melihat Gaza terbakar, suara Arafat seolah bergema: “Mereka membawa kita ke meja perundingan tanpa tanah di bawah kaki kita.” Dan di sisi lain, Hamas pun berseru: “Tak ada martabat dalam negosiasi saat rakyat terus dibantai.”
Dua suara ini harus dipertemukan. Bukan untuk saling meniadakan, tapi untuk saling melengkapi. Palestina butuh arah politik yang cerdas, tapi juga butuh ketegasan untuk tidak tunduk pada penjajahan.
Sebagai alumni HI dan saksi sejarah dari kejauhan, saya hanya bisa mengajak kita semua untuk lebih peka. Palestina bukan sekadar isu kemanusiaan—ia adalah cermin dunia: apakah kita masih peduli pada keadilan, atau hanya peduli pada siapa yang kuat.
Yasser Arafat tetap menjadi idola saya. Tapi perjuangan Palestina hari ini menuntut lebih dari sekadar nostalgia. Ia menuntut keberanian baru, persatuan baru, dan narasi baru—agar suatu hari nanti, bangsa Palestina tak perlu memilih antara diplomasi yang tak didengar, atau perang yang tak kunjung menang.
#FreePalestine #SolidaritasTanpaSyarat #YasserArafatLivesOn *)












