
PADANG, AmanMakmur —Tahun 1966 adalah tahun yang mengubah sejarah Republik Indonesia, akibat pemberontakan PKI pada bulan September 1965, yang dikenal dengan G30S/PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia).
Setelah peristiwa G30S-PKI di tahun 1965, demonstrasi memenuhi jalan-jalan raya di Republik Indonesia, menuntut agar PKI dibubarkan.
Yang menjadi motor demonstrasi itu adalah Mahasiswa (KAMI/Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), Pemuda dan Pelajar (KAPPI/Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia), Guru-guru (KAGI/Kesatuan Aksi Guru Indonesia), dan lain-lain.
“Saya waktu itu kelas 2 STM Negeri Bukittinggi. Sekolah itu berada di Kampung Tarok. Saat itu, semua dinding sekolah terbuat dari “tadia”. Bambu yang dianyam, kemudian dicat dengan kapur putih,” kenang Makmur Hendrik, salah seorang tokoh Angkatan 66, kepada AmanMakmur.com, Selasa (22/4/2025).
Saat itu, lanjutnya, dari sekitar 20-an SLTP dan SLTA, ia dipercaya menjadi Ketua KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia) Bukittinggi.
“Saya memimpin belasan kali demonstrasi menuntut agar PKI, Partai Komunis Indonesia, dibubarkan,” ujar Makmur, yang merupakan seorang wartawan senior dan penulis novel “Si Bungsu” yang legendaris itu.

Diungkapkan Makmur, demonstrasi selalu dipusatkan di Kampung Cina, karena daerah itu merupakan khusus pemukiman orang-orang Tionghoa. Dimana ada sekitar 100 kepala keluarga (KK) Tionghoa bermukim di sana.
Mengapa demonstrasi dipusatkan di sana? Karena, menurut data intelijen, 90% warga Tionghoa di sana, pro kepada Partai Komunis Cina.
Dalam demo tanggal 14 September 1966, seorang siswa kelas II STM Negeri Bukittinggi, bernama Ahmad Karim, tewas ditembak dari jarak dekat.
“Yang menjadi target penembakan itu sebenarnya saya. Jadi salah tembak,” ungkap Makmur.

Jejak
Sebagai Ketua KAPPI Bukittinggi pada Tahun 1966, Makmur meninggalkan ‘jejak’ berupa; pertama, Membangun Monumen Angkatan 66 yang berlokasi di dekat Makam Pahlawan, di daerah Gulai Bancah (dibangun dengan dana Pemko Bukittinggi, saat Walikota dijabat oleh Drs Ismet Amziz).
Kedua, menerbitkan buku Angkatan 66. Buku ini memuat belasan tulisan yang dibuat oleh pelaku sejarah Angkatan 66 Bukittinggi.
“Ketiga, membuat Museum Angkatan 66 yang menempati eks Gedung Baperki, yang saya ambil alih dalam demonstrasi di tahun 66. Museum ini, sekaligus menempati Gedung eks Baperki, atas persetujuan Gubernur Irwan Prayitno. Sebab semua gedung-gedung eks PKI berada di bawah wewenang Gubernur,” pungkas Makmur yang sekarang menikmati hari tuanya dengan menetap di Pekanbaru Riau.
(Ika)