
Oleh: Feri Maulana
(Wartawan Senior)
NENEK moyang orang Minangkabau diyakini masih keturunan Iskandar Zulkarnaen (Alexander Yang Agung) dari Makedonia. Salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnaen dengan rombongannya berlabuh di puncak Gunung Marapi yang masih sebesar telur itik.
Dan saat banjir telah surut, tampaklah di bawah kaki gunung Luhak nan Tigo atau 3 cekungan daratan, maka rombongan kapal itu mulai menuruni tiga wilayah tersebut.
Luhak nan Tigo itu yang sekarang diketahui Luhak Tanah Datar yaitu Luhak nan Tuo, Luhak Agam sebagai Luhak nan Tangah, dan Lima Puluh Koto sebagai Luhak nan bungsu.
Keturunan Iskandar Zulkarnaen yang menjadikan puncak Gunung Marapi sebagai dermaganya bernama Sultan Maharajo Dirajo.
Sultan Maharajo Dirajo memilih tempat yang baik untuk membangun tempat tinggal. Daerah itu diberi nama Nagari Tuo Pariangan, sebuah kisah peradaban Minangkabau menurut tambo.
Seperti puncak Gunung Marapi dalam tambo yang dikiaskan sebagai dermaga tempat berlabuh kapal dengan penumpangnya sebagai tanah harapan, Eka Putra dan Dedi Irawan menjadi pelabuhan harapan bagi masyarakat Tanah Datar.
Kombinasi tokoh muda Lintau dan Pandai Sikek, seperti menjaga marwah Tanah Datar dari 2 sisi Gunung Marapi.
Rasionalitas politik nasional selayaknya diimplementasikan juga di Tanah Datar. Sejarah mencatat, daerah yang dianggap pemimpin politiknya berada di seberang dari kekuasaan, akan mendapat perlakuan yang berbeda dari daerah yang seirama dengan pemegang kuasa.

Terlihat di Sumatera Barat, pembangunan Sumatera Barat seperti tersendat. Infrastrutur dan proyek strategis nasional seperti enggan mampir di Sumatera Barat, terlebih lagi di daerah Tanah Datar.
Jangankan untuk pembangunan asset baru, untuk pemeliharaan infrastruktur dan peningkatan kualitas manusia saja sampai harus jemput bola ke pusat.
Bukan menyederhanakan masalah, walau banyak variabel lain. Namun inilah fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Eka Putra dari Partai Demokrat dan Dedi Irawan dari Partai Golkar selayaknya dermaga untuk melabuhkan harapan masyarakat Tanah Datar, tidak sekadar glorifikasi dan mimpi semata. Gabungan dua partai dan kerja mereka sudah teruji. Baik dalam komunikasi publik dan solusi permasalahan sosial kemasyarakatan di wilayah Tanah Datar, maupun dalam komunikasi politik dengan elemen elemen pemerintahan di Jakarta.
Tentunya potensi ini menarik untuk dikolaborasikan. Dan akan menghasilkan energi baru untuk sebuah transformasi di Tanah Datar, walaupun hari ini tidak direkomendasikan oleh partai manapun, ketika melihat potensi ini akan menjadi pertimbangan alternatif menarik bagi partai politik.
KADE adalah akronim dari Eka Putra dan Dedi Irawan. Dan dalam bahasa Belanda KADE adalah Dermaga, tempat bertemunya cinta, harapan dan masa depan. Seperti nenek moyang orang Minangkabau yang menjadikan Marapi dan sekitarnya sebagai demaga cinta tanah pusaka dan harapan. *)












