
Oleh: Isa Kurniawan
(Koordinator Kapas / Komunitas Pemerhati Sumbar)
PARTAI politik (parpol) yang katanya biang demokrasi, sekarang banyak yang dibuat tak ubahnya seperti perusahaan. Pengurus parpol bukan lagi dibentuk di dalam sebuah musyawarah yang demokratis, tapi main tunjuk saja.
Kalau jadi pengurus, tidak ada jaminan bagi Anda untuk bisa bertahan sampai pada agenda musyawarah berikutnya. Bisa-bisa belum cukup sebulan Anda sudah dipecat.
Dalam sistem seperti ini diyakini hanya akan melahirkan para penjilat yang selalu harus menyenangkan pimpinan tertinggi parpol agar kedudukan bisa tetap bertahan.
Walau pun bertolak belakang dengan hati kecil, sing penting Asal Bapak Senang (ABS).
Karena keputusan seringkali diambil berdasarkan like and dislake, maka jalan yang paling aman adalah mengambil muka dan menjadi anak manis.
Keadaan inilah sebenarnya yang kontra produktif dengan tujuan parpol untuk melahirkan kader-kader pemimpin daerah dan bangsa yang berkarakter, berempati, tangguh dan tahan banting seperti seorang negarawan.
Hal ini dapat kita lihat dari proses pencalonan kepala daerah di pilkada, banyak parpol yang maunya serba instan.
Parahnya para pimpinan tertinggi parpol berbusa-busa muncungnya menyatakan bahwa ia seorang yang demokratis. Tapi apa yang dilakukannya ketika mengambil keputusan di parpolnya, tidak bertemu ruas dengan buku apa yang dinyatakannya itu.
Jangan dibayangkan akan ada musyawarah, semua serba main tunjuk. Suka suka saja. Serba komando.
Padahal dalam sebuah sistem yang demokratis, yang menjadi bingkainya adalah aturan main. Kalau di parpol ada yang dinamakan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Jadi apa pun kebijakan dan keputusan yang akan diambil, sewajibnya mengacu kepada aturan main tadi.
Sekarang banyak pimpinan parpol yang bersikap otoriter dan arogan yang mengangkangi AD/ART yang telah disepakati secara bersama. Jauh dari sikap demokratis tadi. *)