
Oleh: Prof Djohermansyah Djohan
(Guru Besar IPDN)
DI tengah hiruk-pikuk kehidupan Indonesia modern kini, saya melihat dengan keprihatinan bahwa kita sedang memasuki fase paling sunyi dalam sejarah kebangsaan: fase ketika suara uang lebih nyaring daripada suara keimanan, ketika ukuran kehormatan direduksi menjadi besaran aset, dan ketika nilai sosial yang dahulu menjadi perekat masyarakat kini perlahan-lahan terkikis oleh ketamakan yang dibungkus sebagai “kebutuhan zaman now”.
Bangsa yang besar bukan semata diukur dari gedung-gedung megah atau angka pertumbuhan ekonomi, melainkan dari karakter manusianya—dari kejujuran yang dijaga, dari solidaritas yang hidup di tengah rakyat, dari rasa malu yang masih dipelihara sebelum seseorang tergoda menyimpang. Tanpa itu semua, pembangunan hanya menjadi kosmetik yang tak mampu menutupi keretakan di dalam jiwa bangsa.
Ketika Materialisme Menjadi Agama Baru
Hari ini kita hidup dalam masyarakat hedonistik yang semakin terpesona pada harta benda. Kekayaan tak lagi sekadar alat, tetapi berubah menjadi tujuan. Orang tidak lagi bertanya bagaimana ia memperoleh, tetapi berapa ia menguasai.
Nilai sosial digantikan gengsi.
Keimanan digeser oleh pamer kemakmuran.
Amanah dikesampingkan oleh ambisi.
Padahal, masyarakat yang sehat tidak pernah menilai seseorang dari apa yang ia punya, melainkan dari apa yang ia lakukan untuk kebaikan orang banyak.
Keimanan yang sejati bukan diukur dari simbol-simbol yang kasat mata, tetapi dari keberanian menjaga amanah ketika tidak ada yang melihat. Ironisnya, hari ini pengkhianatan terhadap amanah tidak lagi dianggap aib, tetapi menjadi bagian dari “kelincahan” seseorang dalam memainkan sistem.
Krisis Nilai Sosial: Kita Kehilangan Rasa Takut Melakukan Salah
Gejala paling memprihatinkan dari merosotnya iman dan nilai sosial adalah hilangnya rasa malu. Ketika korupsi dianggap “risiko jabatan”, kebohongan disebut “strategi komunikasi”, dan manipulasi dihalalkan atas nama “kepentingan kelompok”, di situlah kejatuhan moral bangsa kita sedang berlangsung.
Bangsa ini sesungguhnya tidak kekurangan orang cerdas. Kita kekurangan orang jujur yang konsisten menjaga integritasnya.
Kita juga tidak kekurangan ahli hukum, tetapi kekurangan penegak hukum yang beriman pada nilai kebenaran, bukan pada kepentingan pemilik modal.
Kita tidak kekurangan tokoh publik, tetapi kekurangan figur yang rela menempatkan kepentingan rakyat di atas dirinya sendiri.
Di antara kerumunan ini, kita merindukan kembali figur-figur yang berani, seperti Bung Hatta, Jenderal polisi Hoegeng, dan Jenderal Soedirman, yang menegakkan integritas tanpa perlu kamera, tanpa perlu pencitraan, tanpa perlu panggung. Pahlawan sejati, sebagaimana sering saya katakan, adalah mereka yang jujur, amanah, bermanfaat bagi banyak orang, dan mengabdi tanpa kepalsuan.
Dimana Peran Keimanan?
Keimanan tidak dimaksudkan untuk membatasi manusia, melainkan mengangkat martabatnya. Tanpa iman, kekuasaan berubah menjadi kesewenangan. Kekayaan berubah menjadi kerakusan. Dan hukum berubah menjadi alat tawar-menawar.
Keimanan seharusnya menjadi rem moral.
Nilai sosial seharusnya menjadi pagar sosial.
Namun hari ini, kedua-duanya semakin tidak terdengar suaranya.
Pertanyaannya: apakah kita masih punya keberanian untuk kembali ke nilai itu?
Kembalilah pada Akhlak, Bukan Sekadar Aturan
Aturan bisa dibuat oleh siapa saja yang berkuasa. Tetapi akhlak hanya bisa dibangun oleh jiwa yang bersih.
Bangsa ini tidak akan bangkit jika hanya mengandalkan aturan dan penataan kelembagaan. Reformasi hukum sekalipun tidak akan efektif jika tidak disertai reformasi moral. Kita memerlukan revitalisasi nilai sosial, reorientasi cara pandang, dan keberanian untuk mengatakan: cukup sudah dominasi harta atas kehidupan kita, “enough is enough.”
Kita perlu kembali pada prinsip sederhana yang diajarkan oleh sejarah dan agama:
Bahwa kemuliaan seseorang tidak terletak pada kekayaannya, melainkan pada integritasnya.
Meski kondisi hari ini terlihat buram, saya tetap percaya bahwa bangsa ini masih memiliki modal moral yang kuat. Masih ada banyak orang jujur yang bekerja dalam senyap, masih ada pemimpin yang mendahulukan nurani daripada kepentingan pribadi, dan masih ada warga masyarakat yang percaya bahwa keadilan bukan hanya slogan.
Apa yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian kolektif untuk menolak budaya materialisme yang melampaui batas, dan kembali pada nilai sosial serta keimanan yang pernah menjadikan bangsa ini kuat dulu.
Di tengah dominasi uang yang kian riuh, kita harus membuat suara keimanan dan nurani kembali bergema. Tak hanya kiai dan pendeta, tokoh adat, akademisi, tapi juga pemimpin puncak negeri seyogianya menyerukan agar kita kembali ke kehidupan yang beralas moral. *)












