
Oleh: Irdam Imran
(Mantan Birokrat Parlemen Senayan, kini aktif di Partai Ummat Depok)
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu legislatif dan eksekutif bukan hanya soal teknis jadwal, tetapi menjadi titik krusial yang dapat mengubah wajah sistem ketatanegaraan kita ke depan.
Perubahan ini bisa menjadi peluang emas untuk memperbaiki kualitas demokrasi, atau justru menjadi celah untuk memperkuat cengkeraman elite politik pusat. Karena itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI perlu bersikap tegas, cepat, dan proaktif.
DPD sebagai representasi daerah dalam sistem bikameral kita tidak boleh hanya menjadi penonton dalam arus perubahan besar ini. Bila DPD diam, maka arah reformasi sistem pemilu hanya akan dikendalikan oleh kepentingan partai-partai politik di DPR dan elite-elite kekuasaan di pusat. Padahal, pemisahan pemilu membuka ruang strategis untuk memperkuat peran daerah dalam sistem politik nasional.
Representasi Daerah, Bukan Subordinat Partai
DPD lahir dari semangat reformasi sebagai kanal representasi daerah yang seharusnya setara secara moral dan konstitusional dengan DPR. Namun dalam praktiknya, peran DPD sering dikebiri: kewenangan legislasi terbatas, tak punya hak menyetujui anggaran, dan kerap dikesampingkan dalam keputusan strategis negara. Bahkan dalam proses politik nasional, DPD lebih sering diperlakukan seperti “aksesori demokrasi” ketimbang mitra sejati legislatif.
Pemisahan pemilu bisa mengubah keadaan ini, jika dan hanya jika DPD RI berani mengambil inisiatif. Pemilu serentak selama ini terbukti menguntungkan partai besar, memperkuat kartel politik nasional, dan melemahkan suara dari pinggiran. Bila pemilu eksekutif dan legislatif dipisah, maka momentum ini harus dimanfaatkan untuk mendorong sistem legislatif yang lebih adil dan representatif—di mana DPD tidak lagi menjadi pelengkap, tetapi pemain utama dalam menyalurkan aspirasi daerah.
Saatnya DPD RI Bangkit
DPD RI harus menjawab putusan MK ini dengan langkah politik yang nyata. Ada empat hal mendesak yang perlu dilakukan.
Pertama, menyatakan sikap resmi atas putusan MK, melalui sidang paripurna atau pernyataan lembaga yang menegaskan bahwa desain sistem pemilu baru harus menjamin keterwakilan daerah secara adil, dan bukan justru mengokohkan dominasi elite politik pusat.
Kedua, menginisiasi dialog nasional lintas elemen, dengan menggandeng perguruan tinggi, tokoh adat, ormas, LSM, dan tokoh agama dari seluruh Indonesia untuk menyusun platform reformasi sistem politik yang inklusif dan berbasis realitas daerah.
Ketiga, mendorong amandemen terbatas UUD 1945, termasuk; Penguatan kewenangan legislasi DPD; Pengakuan partai politik lokal sebagai kanal aspirasi kedaerahan; Pembenahan sistem pemilu agar lebih kontekstual dan berpihak pada rakyat di daerah.
Keempat, mempersiapkan mekanisme pemilu legislatif yang lebih representatif, terutama jika pemilu dipisah. Ini adalah kesempatan bagi DPD untuk memperjuangkan sistem pemilihan yang lebih terbuka, akuntabel, dan mendekatkan wakil DPD dengan masyarakat di daerah.
Menjaga Demokrasi dari Pinggiran
Indonesia bukan hanya Jakarta dan Senayan. Demokrasi harus ditopang dari desa, kabupaten, dan provinsi. Jika representasi daerah terus-menerus dikebiri, maka kita sedang membangun demokrasi yang timpang—yang kuat di pusat tetapi rapuh di pinggiran.
DPD RI adalah satu-satunya lembaga tinggi negara yang tidak berbasis partai. Justru karena itu, DPD punya peluang menjadi jembatan antara negara dan rakyat, antara kekuasaan dan aspirasi lokal. Tapi peluang itu akan sia-sia jika DPD terus diam dan abai dalam momen-momen krusial seperti sekarang.
Sudah saatnya DPD RI berdiri tegak sebagai suara sejati daerah. Bukan subordinat partai. Bukan pelengkap demokrasi. Tetapi sebagai penentu arah masa depan Indonesia yang lebih adil, seimbang, dan berpihak pada rakyat. *)