Oleh: Dr H Khairul Ikhwan, MM (Bakal Calon Walikota Padang)
DENGAN berpakaian preman, polisi menggrebek sejumlah emak-emak yang sedang asyik nongkrong di suatu tempat. Penggrebekkan itu karena aparat kepolisian mendapatkan informasi tentang aktivitas melanggar hukum. Dan, benar saja. Tertangkap tangan, emak-emak itu sedang bermain judi remi.
Video emak-emak tertangkap bermain judi itu viral. Sebenarnya, aksi polisi menggrebek aktivitas melanggar hukum itu adalah hal yang biasa. Di televisi, banyak tayangan penggrebekkan terduga pelaku kejahatan jalanan. Namun, video emak-emak bermain jugi ini agak berbeda. Selain pelakunya adalah perempuan yang sudah nenek-nenek, mereka digrebek di Kota Padang yang terkenal dengan negeri matrilinel, di mana kaum perempuannya dikenal dengan bundo kanduang.
Tentu saja membuat heboh. Orang-orang tak habis pikir, bagaimana mungkin perempuan yang terpandang agung dan terhormat di Ranah Minang bisa melakukan perbuatan yang sangat buruk? Apakah perempuan-perempuan itu tak pernah dididik sebagai limpapeh? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjelaskan tentang kejadian yang menghebohkan di Kota Padang tersebut.
Kota Padang memang sudah menjelma sebagai kota metropolitan. Mobilitas warganya sangat tinggi. Sebagai pusat pemerintahan, pusat ekonomi, pusat sosial, Kota Padang kemudian menjadi rumah bagi semua orang. Kota ini multiras, multibudaya, multisuku, multistrata sosial. Pengaruh budaya asing, kebebasan informasi membuat warga kota mudah terpengaruh. Dan, mereka mudah pula tercerabut dari akat budayanya.
Inilah yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan emak-emak tertangkap berjudi itu lupa menjadi bundo kanduang. Barangkali, mereka justru tak tahu apa itu bundo kanduang. Tak tahu sama sekali dengan limpapeh rumah nan gadang. Kata tersebut, bisa jadi asing di telinga mereka. Kalau emak-emak yang sudah nenek-nenek saja tak kenal dengan jati diri mereka, bagaimana pula dengan perempuan-perempuan generasi sekarang? Sungguh, negeri ini sudah kehilangan sekian generasi perempuannya.
Secara awam, kekhawatiran tercerabutnya akar jati diri perempuan di negeri ini bisa dipertanyakan kepada perempuan milenial sekarang. Dalam kehidupan nyata, dengan mudah perempuan milenial itu menyebut: aku tidak bisa memasak. Bahkan, di Kota Padang, ada perempuan milenial yang ditanya tentang sukunya, ia sama sekali tak bisa menjawab. Apalagi, kalau ditanya, siapa mamaknya, siapa datuknya, makin mengernyit keningnya.
Tertangkapnya emak-emak berjudi di Kota Padang bisa jadi adalah persoalan sepele. Tapi, persoalan sepele itu justru mendapat perhatian banyak orang. Sebab, kehilangan jati diri ini bukanlah persoalan sederhana. Ia menjadi fenomena gunung es yang memicu persoalan yang lebih besar. Memicu kriminalitas, konflik sosial, yang lebih memprihatinkan adalah terputusnya generasi perempuan Minang di Kota Padang. Kalau di suatu negeri perempuannya sudah rusak, maka rusaklah negeri tersebut.
Inilah akibat ketika akar budaya, jati diri hanya dianggap sebagai persoalan sepele. Banyak perempuan yang terlepas dari citra jati dirinya. Banyak perempuan di Kota Padang yang tak tahu lagi bagaimana berlaku sebagai perempuan Minang sejati. Semua ini bermula ketika perkara adat dan budaya dipandang sebelah mata.
Kota Padang memang sudah mempunyai pengajaran adat dan budaya. Adat dan budaya Minang menjadi muatan lokal yang diajarkan di bangku sekolah. Daripada tidak sama sekali, pengajaran adat dan budaya di sekolah itu memang patut diapresiasi. Tapi, untuk menjadikan adat dan budaya sebagai jati diri, jalan hidup, identitas, tak cukup dengan pelajaran di sekolah saja.
Implementasi adat dan budaya Minang itu harus ada dalam kehidupan sehari-hari. Membentuk karakter masyarakat, membentuk pribadi-pribadi yang hidup dalam masyarakat tersebut. Karena itulah, implemntasi adat dan budaya itu bukan hanya tanggung jawab sekolah, tapi menjadi tanggung jawab semua institusi yang ada di masyarakat, terutama keluarga.
Hal yang paling mendasar adalah, akar adat dan budaya Minang itu ada pada falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Akar falsafah hidup inilah role dalam kehidupan sehari-hari. Falsafah hidup yang menggerakkan fungsi bundo kanduang, niniak mamak, cadiak pandai, alim ulama; tigo tungku sajarangan.
Mewujudkan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah bukanlah perkara yang mudah. Apalagi, dalam masyarakat kota yang sudah tergerus jati diri karena pengaruh bermacam nilai. Karena itulah, menjadikan Kota Padang sebagai Kota Beradat merupakan sebuah visi yang sangat besar.
Padang sebagai Kota Beradat bagi orang-orang yang sinis barangkali dianggap sebatas primordial, ketinggalan zaman. Tentu saja, itu adalah pemahaman yang salah terhadap falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Falsafah ABSSBK adalah jalan hidup. Sesuai dengan prinsipnya, falsafah ABSSBK itu tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan.
Sudah saatnya, implementasi adat dan budaya itu tak lagi bersifat promordial, apalagi sekadar formalitas dan seremonial. Visi Padang Kota Beradat adalah menjadikan adat dan budaya yang berakar pada falsafah ABSSBK sebagai jalan hidup, jati diri, role mode. Dengan begitu, perempuan-perempuan di kota ini akan menjadi limpapeh yang sebenarnya. Laki-lakinya, menjadi niniak mamak, urang sumando, jadi anak-kemenakan yang sebaik-baiknya. *)