
Oleh: Ana Humaira, Imam Arkan Salim, Randa Shandika
PADA awal Maret 2024, Provinsi Sumatera Barat dilanda bencana banjir. Banjir ini dipicu oleh intensitas curah hujan yang tinggi dan deforestasi.
Deforestasi erat kaitannya dengan pembalakan hutan secara liar yang dapat menyebabkan terjadinya berbagai bencana karena berkurangnya tutupan hutan sehingga membuat daya dukung lingkungan menurun.
Salah satu daerah yang terdampak bencana banjir paling parah adalah Kabupaten Pesisir Selatan. Berdasarkan data BNPB Pesisir Selatan pada 12 Maret 2024, banjir terjadi di 15 kecamatan yang tersebar di 182 nagari.
Wilayah di sekitar aliran Sungai Batang Surantih, terutama di Nagari Ganting Mudiak Utara Surantih, Kecamatan Sutera adalah wilayah yang mengalami kerusakan yang paling parah akibat banjir. Puluhan rumah hancur, merenggut korban jiwa, dan juga memutus akses jalan.
Tidak kalah ironisnya adalah, ditemukan jejak-jejak perambahan kayu di sekitar lokasi terdampak banjir. Jejak perambahan tersebut dapat dilihat dari adanya bekas bekas potongan kayu log ukuran kecil hingga besar yang bercampur dengan material lumpur dan bebatuan.
Material-material kayu tersebut bertumpuk di tepi sungai dan rumah-rumah warga yang hancur akibat banjir bandang.
Fakta tersebut diperkuat dengan temuan bukit-bukit yang ada di sepanjang aliran Sungai Surantih, di Nagari Batu Bala dan Langgai telah gundul di beberapa titik.
Sebagian baru dibuka, sebagian lain sudah jadi perladangan gambir. Beberapa di antara lahan terbuka itu mengalami longsor ke arah sungai. Ini membuktikan bahwa ada indikasi pembalakan liar dan alih fungsi lahan untuk perkebunan tersebut nyata adanya.
Diperkuat dengan pernyataan Gubernur Sumbar Mahyeldi, yang mengatakan dari kejadian longsor yang terjadi beberapa tahun lalu, termasuk bencana yang sekarang terjadi ini ada indikasi illegal logging. “Terbukti saat saya ke sana (Pesisir Selatan) penebangan liar itu ada,” ujarnya di Padang, pada Jumat (15/3/2024), dilansir oleh Antara.
Sejauh ini kawasan hutan di wilayah Pesisir Selatan telah memberikan manfaat bagi masyarakat setempat, hal ini dapat dilihat dari penerbitan SK Perhutanan Sosial yang memberikan legalitas bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas pengelolaan atau pemanfaatan hutan guna peningkatan ekonomi.
Selain itu, kehadiran Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan Perhutanan Sosial memiliki peran penting sebagai pusat layanan informasi dalam meningkatkan pemahaman dan pengembangan potensi hutan bagi masyarakat.
Akan tetapi, pada kenyataanya kehadiran Pokja tersebut tidak sesuai dengan harapan pembentukannya karena masih adanya penebangan liar.
Dilema dalam penegakan Hukum Kehutanan di Pesisir Selatan juga nyaring terdengar. Peristiwa penebangan kayu di tahun-tahun sebelumnya yang dibiarkan, tambang ilegal di dalam kawasan hutan, serta jalur sungai yang diotak-atik sampai rusak seperti pembiaran yang disengaja oleh Pemkab Pesisir Selatan.
Hal tersebut dapat dilihat secara kasat mata bagaimana Pemkab Pesisir Selatan melakukan pengelolaan terhadap daerah aliran sungai. Pemda dengan embel embel “disinan iduik masyarakat” tidak mau menindak lanjuti ataupun memberikan sanksi terhadap pelanggaran tersebut, walaupun telah terlihat secara gamblang adanya indikasi pembalakan hutan secara liar.
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, penebangan hutan secara liar merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan tegas disebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan aktivitas tertentu dalam kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
Pada Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan terdapat pula aturan yang lebih khusus mengenai penebangan hutan secara liar, dimana terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai proses penegakan hukum, lembaga yang berwenang hingga jenis sanksi yang akan diberikan jika terbukti melakukan pelanggaran penebangan hutan secara liar. Mulai dari ancaman hukuman penjara, hingga denda yang mencapai miliaran rupiah.
Dengan demikian, usaha dari berbagai pihak untuk mendorong masyarakat untuk memanfaatkan hutan secara efisien memperoleh kegagalan di berbagai tempat.
Lantas muncul pertanyaan, apakah masih relevan memanfaatkan hutan sebagai penghidupan masyarakat? Ekstremnya dampak bencana banjir di Pesisir Selatan yang disebabkan oleh aktivitas ilegal di hutan, dapat dipandang bahwa eksploitasi hutan di Pesisir Selatan harus dihentikan. dengan demikian, hutan akan kembali merehabilitasi dirinya sehingga fungsi hutan sebagai penjaga lingkungan dapat terwujud.
Undang-undang kehutanan memang telah menjamin hak masyarakat untuk melakukan kegiatan pemanfaatan ataupun pengelolaan kawasan hutan sebagai ladang pencaharian, namun dalam pelaksanaanya tak jarang ditemukan beberapa tindakan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Sehingga dalam hal ini, keseriusan dari Pemkab Pesisir Selatan untuk segera menegaskan penegakan hukum kehutanan di wilayahnya adalah hal yang mutlak dilakukan, agar bencana yang telah terjadi tidak terulang kembali, agar masyarakat dapat hidup tanpa rasa ketakutan dan hidup dengan penuh senyuman, bukan tangisan. *)
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Unand