Oleh: Prof Elfindri
SEWAKTU Jokowi mengajukan program kerja pada kampanyenya banyak yang terkesima, dan membuat begitu semangat menjatuhkan pilihan dan bangga karena beliau menang kontestasi.
Dalam perjalanan, program itu ada yang jalan, dan banyak yang dikubur dalam ubun-ubun.
Masalah mendasar adalah program yang dijalankan banyak sekali yang dalam proses berujung pada skandal korupsi. Mulai dari program bantuan sosial (bansos), program benih lobster, program pemasangan sekitar 4600 an BTL 4G, sebagian ruas jalan tol. Dan lain sebagainya.
Dalam berbagai perkiraan yang sudah tertangkap saja korupsi diperkirakan akumulasi nilai bisa sampai Rp100 triliun. Belum kasus-kasus yang belum tertangkap.
Korupsi dan Nepotisme salah satunya penyebab kenapa Indeks persepsi Korupsi Indonesia terjun payung menjadi 34 yang sebelumnya 38 dari 100 nilai maksimum.
Jika di SD sampai PT nilai rapor di bawah 40 adalah merah pekat dan tidak naik kelas, saking memalukan sekali. Tentu negara hukum mesti mengusut sampai tuntas, dan bagi hukum yang adil tentu tidak berhenti sampai menteri, namun lebih di atas itu top manajemen.
Gagasan tentang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tetap dipertahankan ke depan. Ketika pasangan AMIN menang, reformasi KPK akan bisa berjalan dan sepertinya angin segar itu ada. Namun jika pasangan lain yang menang saya khawatir KPK akan tetap seperti sekarang, penuh lobang menganga. Bukan tidak ada yang kompeten di dalamnya namun masalah mendasar ada pada 3 aspek.
Aspek pertama adalah independensi KPK. Keberadaan KPK di bawah presiden, baik proses pencalonan pimpinan sampai pemilihan akan membuat hasil dari sistem yang tidak independensi. Salah satu alasan karena terkait dengan permasalahan pimpinan dan anggota partai pendukung.
Bagi kebanyakan lembaga pengawasan mirip KPK tidak independen akan berisiko dimana akan terbatas ruang gerak, bahkan kasus-kasus yang masuk akhirnya dipilih mana yang sesuai dengan keinginan sang penguasa. Itu sudah rahasia umum.
Kita mendengar bahwa intervensi pihak istana, tentu akan membuat setiap kasus yang akan dinaikan tidak lagi random, namun tebang pilih.
Jika intervensi itu ada tentu reformasi Independensi bisa dilakukan oleh presiden berikutnya.
Aspek kedua adalah masalah kekurangan tim penyidik KPK. Indonesia negara besar dan luas, ketika masalah korupsi begitu banyak, maka keberadaan KPK dengan model mungil seperti sekarang tidak cukup. Kelemahan utama adalah pada jumlah tenaga penyidik, bukan pada kompetensi.
Ketiga adalah berkaitan dengan regulasi “harta rampasan”, artinya undang undang asset koruptor yang masih mangkrak di DPR untuk disyahkan.
Dengan adanya undang-undang berkaitan dengan harta bekas korupsi akan semakin mudah mengeksekusinya. Apalagi pemiskinan Koruptor menjadi strategi yang jelas.
Asesmen LHKPN pejabat jika semakin diperketat. Mungkin akan memudahkan dan kabar pertakut bagi mereka yang ingin menjabat.
Semoga berbagai aspek di atas memudahkan bagi Indonesia untuk tidak bermain main masalah korupsi ini. Saat instrumen lain masalah pendanaan politik dan regulasinya juga diperlukan. *)
Penulis adalah Guru Besar Ekonomi SDM Unand, dan Direktur Pusat Studi Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Unand