Oleh: Cahyani Fortunury Damayanti
SETIAP daerah di Minangkabau pasti memiliki bahasa daerah masing-masing. Pengunaan dan logat berbicara setiap daerah pasti berbeda-beda tapi memiliki makna yang sama.
Bahasa Minangkabau tidak hanya dipakai sebagai simbol orang Minang saja, tetapi juga kesantunan dalam berkomunikasi. Bahkan dalam merantau pun orang Minang pasti akan membawa bahasa daerahnya yaitu bahasa Minangkabau untuk dikenali oleh perantau lainnya, dan dalam merantau saja orang Minang pasti menjaga etika dalam berbicara karena tidak mau memburukkan tempat kelahirannya sendiri.
Minangkabau dahulunya sangat terkenal dalam pengunaan bahasa yang sopan santun dan beretika, dan tahu dengan kato nan ampek. Tapi seiring berjalannya waktu kato nan ampek itu tidak lagi dipakai oleh generasi saat ini, dimana kadang sopan santun berkata pun sudah mulai hilang.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang kato nan ampek dalam generasi milenial di Minangkabau, lebih baiknya kita mengetahui apa itu kato nan ampek.
Apa Itu Kato Nan Ampek?
Kato nan ampek adalah sebuah aturan dasar dalam berkomunikasi, kato nan ampek ini terbagi atas 4 yaitu; kato mandaki, kato manurun, kato mandata, dan kato malereang.
Pertama, kato mandaki atau kata mendaki maksudnya, bagaimana kita menyatakan pikiran kita dengan cara berkomunikasi terhadap seseorang yang posisinya lebih tinggi dari kita, seperti orang tua, guru, ulama, tokoh masyarakat, termasuk pemimpin kita.
Hal yang sangat terlarang bila kita memanggil namanya saja atau memberi kata sandang ‘Si’.
Kedua, kato manurun atau kata menurun, adalah cara berkomunikasi dengan seseorang yang posisinya di bawah kita atau lebih muda usianya dari kita.
Kato manurun ini kadang disalah artikan sebagian orang. Kato manurun bukan berarti mambuang aie ka lurah (bukan berarti kita bisa bicara semena-mena).
Ketika kita berbicara dengan yang lebih muda tetaplah harus juga pandai menghargai dan tidak semena mena. Tidak merasa paling tahu atau paling benar.
Contoh kata manurun adalah saat kita berbicara kepada adik kita mengunakan kata yang lemah lembut sekalian mengajar hal- hal yang baik kepadanya.
Ketiga, kato mandata atau kata mendatar, merupakan cara bertutur kata kepada teman sejawat atau teman sebaya kita. Kepada teman sebaya tutur kata kita mungkin tidak sebagaimana kepada orang yang lebih tua, tetapi kata-kata itu tetap harus dalam koridor saling menghargai.
Walaupun dengan teman sebaya kita harus tetap saling menghargai dalam bicara. Petitih Minang mengatakan, “Diagak mangko diagiah, dijua mangko dibali,” yang artinya dalam berbicara hendaklah berpikir terlebih dahulu, dan memberikan jawaban yang tidak menyinggung lawan bicara.
Keempat, kato malereang atau kata melereng, adalah bagaimana cara berkomunikasi dengan pihak yang rasanya janggal apabila mengungkapkan perasaan/pikiran kepadanya secara gamblang dan terus terang.
Dalam kato malereang ini digunakan kata-kata berkiasbanding. Umpamanya antara mertua dengan menantu atau sebaliknya. Kato malereang banyak mengandung kata-kata sindiran, ada yang positif dan ada pula yang negatif.
Etika Berkomunikasi
Setelah mengetahui apa itu kato nan ampek, selanjutnya kita akan membahas masih adakah kato nan ampek dalam generasi milenial?
Seperti yang kita lihat pada saat ini berbicara sopan santun dalam generasi milenial sudah mulai hilang, karena mengikuti zaman dan pergaulan yang ada, pada generasi saat ini tidak tahu lagi dengan kato nan ampek karena semuanya dianggap datar saja.
Contohnya saja dalam kehidupan sehari-hari dalam kato mandaki, banyak orang ketika berbicara kepada orang yang lebih tua atau yang dituakan disamakan saja seperti berbicara kepada teman sebaya, datar saja tidak adalagi rasa hormat dan sopan santun berbicara karena etika itu tidak adalagi.
Seharusnya kita semua bisa menerapkan kato nan ampek ini dalam kehidupan sehari hari. Pepatah mengatakan nan kuriak iyolah kundi, nan merah iyolah sago, nan baiak iyolah budi, nan indah iyolah baso.
Maksudnya semestinya yang paling berharga dalam kehidupan bergaul adalah budi pekerti yang baik serta sopan santun. Jadi, kita harus bisa mengamalkan kato nan ampek dalam kehidupan sehari hari.
Kato nan ampek senantiasa diterapkan saat kapanpun dan dimanapun ruang lingkup komunikasi dijalin, baik itu berkomunikasi secara tatap muka atau pun tidak.
Kato nan ampek akan sangat ampuh mengurai persoalan diskomunikasi antar orang yang berkomunikasi. Kato nan ampek juga akan sangat ampuh dilakukan dalam lobi dan negosiasi.
Manusia pada dasarnya senang dihargai dan dihormati. Bila penghargaan itu diberikan terlebih dahulu kepada pasangan komunikasi, maka proses komunikasi yang kita lakukan selanjutnya tidak akan ada masalah dan hambatan.
Komunikasi kita akan cair dan berjalan sesuai dengan harapan serta mencapai tujuannya dengan baik. Banyak perselisihan dan pertikaian yang berhasil didamaikan melalui komunikasi yang baik.
Dan sebaiknya kita harus menjaga sopan santun dalam berbicara dalam bermasyarakat ataupun dimana saja kita berada. Etika harus dijaga juga karena etika merupakan suatu hal yang penting yang mengatur tingkah laku dan perilaku seseorang di masyarakat.
Etika tidak hanya sebatas yang benar atau yang salah tetapi juga mengatur bagaimana perilaku manusia tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu aspek penting dalam etika di masyarakat yaitu etika berkomunikasi.
Dapat disimpulkan dalam etika berkomunikasi dalam masyarakat Minangkabau merupakan hal yang sangat penting. Etika berkomunikasi dapat mencerminkan pribadi seseorang, dengan menggunakan tutur kata yang baik serta dapat menghargai lawan bicara maka seorang tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki etika dan sopan santun dalam masyarakat.
Dan pada generasi milineal sekarang jangan terlalu mengikuti perkembangan zaman, etika berbicara harus bisa dijaga di manapun kita berada ibarat nya tahu dengan kato nan ampek ataupun tau jo nan ampek, kita lebih menghormati orang yang lebih tua dari kita dan menyanyangi orang yang lebih kecil dari kita, dan ketika pergi merantau ke negeri orang kita setidaknya bisa menjaga etika berbicara kita agar orang tidak sakit hati kepada kita. *)
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand)