JAKARTA, AmanMakmur.com — Pansus BLBI DPD RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU) bersama Gubernur Bank Indonesia periode 2003-2008, Burhanudin Abdullah. Rapat tersebut digelar guna menggali informasi terkait dengan kasus BLBI yang hingga saat ini belum selesai. Senator asal Lampung yang juga merupakan Ketua Pansus BLBI, Bustami Zainuddin berharap agar kasus BLBI tidak terulang lagi dikemudian hari karena telah membuat chaos keuangan negara.
“Kami menangkap pola yang sama terjadi pada Jiwasraya, Bumiputera, Asabri. Pola-pola ngebancak (merampok) uang negara. Menurut kita, orang tidak mau bayar, buat chaos negara. Sementara yang kami tangkap ini. Negara nanti yang bayar,” papar Bustami, Sabtu (24/9/2022).
Rapat yang dipimpin langsung oleh Bustami juga dihadiri oleh anggota Pansus BLBI DPD RI lainnya yakni, Senator asal Kalimantan Barat, Sukiryanto dan Senator asal Lampung, Abdul Hakim yang turut hadir secara virtual. Dalam pembahasan itu diketahui bahwa dalam kasus BLBI hingga saat ini pemerintah masih menanggung rekap bunga obligasi BLBI sebesar kurang lebih Rp48 triliun per Juni 2022.
Dalam sambutannya Bustami menyampaikan dua alasan dibentuknya Pansus BLBI DPD RI. Pertama, karena hingga hari ini kasus ini belum pernah tuntas dan kedua, sebagai bentuk respons atas pembentukan Satgas BLBI oleh pemerintah.
Bustami menjelaskan kepada Burhanudin mengenai masa kerja Pansus BLBI DPD RI yang telah berjalan.
“Pak Burhanudin, pansus ini sudah berjalan 6 bulan. Hasil pansus akan kami rekomendasikan kepada DPD RI, para penyelenggara negara, seperti Presiden, KPK dan Jaksa Agung dan lainnya seperti Bank Indonesia,” jelas Bustami.
Bustami mengharapkan RDPU kali ini bisa menambah informasi bagi Pansus BLBI dalam memberikan rekomendasi.
“Terdapat beberapa poin yang ingin pansus BLBI dalam, antara lain apakah tidak bisa dilakukan moratorium pembayaran bunga obligasi rekap BLBI tersebut dapat meringankan beban fiskal APBN kita?,” tanya Bustami.
Sementara itu, Burhanudin Abdullah mengungkapkan beberapa hal terkait dengan kasus BLBI. Burhanudin mengungkapkan latar belakang adanya BLBI yang disebabkan oleh krisis moneter yang terjadi pada 1997/1998. Krisis perbankan terjadi ketika nilai kurs rupiah terhadap US Dollar dilepas kepada mekanisme mengambang.
“Pemerintah melepas band US dollar menjadi US Dollar kita menjadi floating. Diserahkan kepada pasar,” ungkap Burhanudin.
Burhanudin menambahkan bahwa nilai rupiah terhadap US Dollar waktu itu tidak menjadi floating tapi sink.
“Riak itu (penurunan nilai tukar rupiah terhadap US-Dollar-pen) menjadi gelombang yang sangat besar ke perbankan kita. Dimulailah krisis perbankan kita. Bank-bank besar yang punya utang dollar yang sebelumnya membayar sebesar Rp2.500, harus membayar Rp15.000 per dollar. Itu kemudian yang melanda perbankan kita,” kenang Burhanudin.
Burhanudin mengungkapkan ketika dirinya menjadi Gubernur BI mulai Mei 2003, tidak pernah terlibat dalam pelaksanaan kebijakan BLBI.
“Saya tidak pernah mengambil kebijakan tentang BLBI dan tidak pernah terlibat dalam pelaksanaan kebijakan (BLBI), ” tegas Burhanudin.
Burhanudin mengungkapkan kehadirannya memenuhi undangan DPD RI adalah ingin berbagi pandangan tentang bagaimana Indonesia dapat keluar dari kemelut BLBI.
“Saya ingin sharing, ingin menolong, ingin turut membantu kita kelar dari kemelut ini BLBI. Jadi barangkali yang ingin saya sampaikan adalah pengetahuan saya, to some extend adalah teori. Mengapa hal tersebut terjadi dan bagaimana kita mencoba menyikapi langkah-langkah ke depan seperti apa,” jelas Burhanudin.
Sukiryanto, anggota Pansus BLBI Komite IV DPD RI mandalami persoalan mengenai bunga rekap obligasi yang saat ini masih menjadi beban APBN.
“Kondisi uang kami kejar ini adalah bahwa setiap tahun ada bunga utang obligasi rekap yang harus dibayar oleh rakyat melalui APBN setiap tahun. Ini sampai kapan?. Kapan ini (beban bunga dalam APBN) putus,” ungkap Sukiryanto.
(Rel/dpd)