SURAU dan mushalla adalah sama-sama rumah ibadah umat Islam. Secara struktural rumah ibadah tersebut levelnya berada di bawah masjid, karena tidak memenuhi syarat untuk dilaksanakan shalat Jum’at. Namun, secara konseptual dan filosofis surau berbeda dengan mushalla. Surau adalah bagian infrastruktur yang harus ada dalam lanskap perkampungan Minangkabau.
Perkampungan yang dimaksud adalah strata dari struktur terendah atau terkecil, yang hanya dihuni oleh satu keluarga besar yang bernaung dalam satu rumah gadang atau satu suku.
Lanskap perkampungan tersebut terdiri atas beberapa infrastruktur yang menjamin kesejahteraan dan keberlangsungan anggota suku tersebut.
Infrastruktur tersebut adalah rumah gadang, rangkiang, surau, tapian, sasok jarami, hutan, dan pandam pakuburan, semua itu berada di atas tanah ulayat.
Secara sistem, struktur sosial dalam perkampungan terdapat lembaga adat yang menjadi dan mengayomi anggota suku, yakni penghulu/datuk, sutan, malin, manti, dan dubalang.
Lanskap berkaitan erat dengan sistem sosial yang ada. Masing-masing status menjalankan peran dan fungsi di lanskapnya. Siapakah orang-orang yang memegang status dan menjalankan peran itu. Mereka adalah orang-orang yang bertali darah secara adat, satu garis keturunan matrilinial atau ibu.
Tidak maangok kalua badan. Tidak mendatangkan orang lain mengisi struktur sosial. Artinya, sebuah perkampungan Minangkabau adalah perkampungan yang otonom dan mandiri. Memiliki sumber daya alam dan manusia.
Khususnya, dalam pembicaraan ini berkaitan dengan peran surau. Surau dipimpin oleh malin, yakni seorang yang memiliki pengetahuan agama dan menjalankan ibadah secara konsisten.
Malin bertugas di bidang agama dan mengelola surau secara kolaboratif dengan seluruh laki-laki yang telah “gadang“ memberdayakan anggota sukunya. Laki-laki dalam kaum itu memiliki tanggungjawab membesarkan surau dan mendidik serta membimbing kemenakannya.
Surau merupakan lembaga sosial yang strategis dan menentukan masa depan generasi penerus secara keberlanjutan di perkampungan tersebut, menjadi kawah candradimuka. Sebelum generasi mudanya turun menapak bumi, apakah di ranah domestik atau publik, menetap di kampung atau merantau, mereka harus melalui lembaga surau.
Di surau mereka dibentuk dan dipersiapkan untuk mengarungi samudra kehidupan yang maha luas, secara fisik dan mental. lahir dan bathin, hardskill maupun softskil.
Di surau, generasi muda dididik, baik laki-laki maupun perempuan. Ketika mereka sudah memasuki masa akil baliq semua laki-laki diharuskan tinggal dan menempuh pendidikan di surau selama 24 jam. Sedangkan perempuan hanya menempuh pendidikan beberapa jam sehari di surau dan selanjutnya mereka kembali ke rumah gadang.
Surau sekaligus dijadikan tempat menginap untuk laki-laki karena rumah gadang disediakan hanya untuk tempat tinggal perempuan. Laki-laki ke rumah gadang kaumnya hanya untuk makan. Selain itu semua aktivitasnya berada di surau.
Pembicaraan tentang surau ini menjadi menarik dan hangat dalam Kegiatan Berkelanjutan Pengabdian kepada Masyarakat Membantu Nagari Membangun Universitas Andalas 2021 di Nagari Andaleh Kabupaten Tanah Datar yang digawangi oleh penulis sendiri.
Dalam sebuah diskusi bebas saat kunjungan akhir tahun 2021, pertanyaan muncul dari peserta berkaitan maraknya pelecehan seksual dewasa ini di lembaga pendidikan seperti TPA, mushalla, dan rumah tahfiz. Kenapa hal itu terjadi, begitu juga di ranah ini yang terkenal dengan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah? Apakah mushalla dan mesjid tak mampu membentengi perilaku menyimpang itu? Di mana posisi surau yang digadang-gadang “baliak ka surau”?
Dalam dialog tersebut ditemukan jawaban bahwa surau di ranah ini sudah punah, yang ada hanya mushalla dan masjid. Kenapa demikian? Ya surau secara konseptual tidak ada lagi. Karena mushalla dan masjid yang ada saat ini tidak sama dengan surau.
Surau adalah milik kaum yang berada dalam daerah teritorial tanah ulayat dan tempat berinteraksi orang sekaum yang memiliki hubungan kekerabatan. Satu sama lain memiliki tanggungjawab menjadi pagar, yang bertugas saling menjaga dan melindungi, adat badunsanak menjaga dunsanak, adat berkaum menjaga kaum, adat bersuku menjaga suku.
Jadi, sebagai lembaga pendidikan, yang terlibat dalam proses belajar dan mengajar di surau adalah lelaki yang sudah “gadang” dan generasi muda yang berkerabat, dalam hal ini mamak dan kamanakan.
Mamak punya tanggung jawab terhadap kamanakannya yang merupakan anak saudara perempuannya. Mamak berkewajiban membimbing dan mendidik kamanakannya, dan sarananya adalah surau.
Berhubungan dengan itu seorang laki-laki dalam masyarakat memiliki status sosial dan peran ganda, sebagai guru dan mamak, karena pengetahuan agama dan pengalaman duniawinya.
Mamak-mamak yang mengajar dan tinggal di surau adalah orang-orang yang telah ditempa oleh kehidupan, baik di kampung sendiri maupun di luar di rantau. Mamak-mamak tersebut adalah orang yang telah berstatus bujang kembali “duda”, baik karena kematian istri maupun cerai hidup dan atau karena usia tua.
Oleh karena aturan adat dan sosial mereka tidak mungkin terus tinggal di rumah mantan istrinya, maka keluarga kaumnya menjemput dan tinggal di surau kaum.
Mamak-mamak itu tidak mungkin pula tinggal di rumah gadang yang hanya diuntukkan bagi perempuan. Mamak-mamak tersebut sekaligus berperan sebagai guru bagi kemanakan-kemenakannya, berbagi pengetahun dan pengalaman kehidupannya.
Sedangkan mushalla dan masjid adalah milik publik, tidak ada otoritas kaum atau suku di lembaga itu. Pengelolanya adalah orang yang berasal dari berbagai suku. Bahkan ada di antaranya yang mendatangkan orang dari luar daerah.
Tidak ada keterikatan emosional dan kekerabatan di antara mereka dan juga dengan jemaah. Jika lembaga ini menyelenggarakan pendidikan, guru-gurunya seringkali berasal dari luar daerah yang hanya bertugas mengajar. Mereka tidak memiliki keterikatan dan kekerabatan dengan peserta didiknya.
Maka dalam konteks inilah peluang bagi oknum-oknum guru tersebut berprilaku menyimpang dan melakukan pelecehan terhadap peserta didiknya, seperti pertanyaan di atas.
Dengan demikian, jika orang Minangkabau di Sumatera Barat ingin kembali hidup bernagari dan kembali ke surau, maka konsep surau itu harus dipahami dan dijalankan. Maka surau itu akan berperan sebagai lembaga yang melindungi sekaligus menjadi kawah candradimuka bagi generasi muda sebelum bertebaran di muka bumi untuk melanjutkan pendidikan mendapatkan ilmu dan mengumpulkan kekayaan. Jadi, bukan sekadar semboyan saja.
Demikian sebuah diskusi sederhana berlangsung di sebuah Kadai Kopi di Nagari Andaleh di kaki Gunung Merapi di akhir tahun 2021.
Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas (Unand)