YA kita memang berbeda-beda, tapi kita bertekad untuk bersatu, Bhinneka Tunggal Ika. Itulah acuan kita bersama di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apabila kita ingin bersatu, maka persoalan pokoknya bukan menghilangkan perbedaan-perbedaan yang ada, itu adalah mustahil karena bertentangan dengan kodrat. Biarlah perbedaan itu ada dan tetap ada.
Terpenting adalah bagaimana perbedaan-perbedaan itu dapat mempersatukan kita dalam persatuan yang indah, seperti indahnya kesatuan warna warni pelangi yang serasi.
Persatuan dalam keanekaragaman bagi kita bukan lah hal yang mustahil. Sebab kita telah ditempa oleh perjuangan dan sejarah yang panjang untuk bersatu. Lebih dalam lagi, kita adalah bangsa yang senantiasa mencari keselarasan.
Bagaimana usaha kita untuk memperkokoh ke-bhinneka tunggal ika-an itulah sesungguhnya garis pembinaan dan pembangunan sosial politik yang seharusnya kita arah.
Anda boleh setuju untuk setuju dan boleh juga setuju untuk tidak setuju. Selalu ada pilihan. Inilah yang kita maksud dengan berdemokrasi. Dimana di dalam prosesnya selalu ada ruang untuk adanya perbedaan-perbedaan dan merupakan wadah untuk pembelajaran dan pendewasaan diri sehingga apapun hasilnya –selagi demokrasi itu berjalan dalam koridor dan mekanisme yang normatif– dapat melepaskan kita dari konflik-konflik yang tidak ada gunanya.
Kalau tidak salah, inti dari berdemokrasi itu adalah musyawarah untuk mufakat, “Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik“. Tetapi dalam praktiknya, terkadang mufakat dulu baru sesudah itu bermusyawarah, sehingga esensi dari berdemokrasi itu menjadi tereduksi.
Apabila musyawarah dan mufakat menemui jalan buntu, tidak lah tabu untuk mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak, dikarenakan ini pun sebagai salah satu cara kita untuk berdemokrasi. Apapun hasilnya haruslah kita hargai bahwa itu merupakan keputusan yang harus diterima. Tetapi yang harus dihindari adalah hegemoni mayoritas atas minoritas.
Seorang pemimpin yang demokratis biasanya selalu memberi ruang untuk berargumentasi, tumbuhnya inovasi dan kreativitas. Seandainya timbul konflik, maka konflik tersebut dikelola secara baik dan dianggap sebagai sebuah proses untuk mencari harmonisasi hubungan dalam mencapai tujuan bersama.
Sementara pemimpin yang non demokratis, baginya berbeda akan selalu dipandang sebagai “lawan” dan harus “dibunuh”. Suka atau tidak suka, di sinilah letak kesalahannya, akhirnya menjadi bumerang bagi sang pemimpin.
Dalam budaya Minang filosofinya pemimpin itu hanya “Ditinggikan sarantiang, didahulukan salangkah“, jadi begitu dekat dengan yang dipimpin. Dan biasanya, “Rajo alim rajo disambah, rajo dzalim rajo disanggah“.
Itulah konsekuensi / risiko kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang memiliki kultur yang demokratis dan egaliter. Hanya kesabaran, kebesaran jiwa dan berpikir jernih yang diperlukan untuk memahaminya.*
Penulis adalah Koordinator Komunitas Pemerhati Sumbar (Kapas)