SULAWESI SELATAN, AmanMakmur.com — Anggota DPD RI Hasan Basri menyampaikan akan terus konsisten memperjuangkan supaya UUD 1945 diamandemen kembali untuk yang kelima kalinya.
Amandemen itu, kata Hasan Basri, saat melakukan kajian ketatanegaraan di Universitas Negeri Makassar, Rabu (24/11), sudah sangat mendesak dilakukan, terutama pada sistem ketatanegaraan Indonesia, yakni sistem pemerintahan presidensial.
Menurut Senator asal Kalimantan Utara ini, amandemen harus dilakukan untuk memperkuat sistem presidensial. Tujuannya agar pemerintahan terpilih tidak dirongrong oleh parlemen, dimana dapat mengakibatkan program yang disiapkan pemerintah terhambat.
“Jadi penguatan sistem presidensial dilakukan agar program pemerintah dijalankan lebih cepat dan efektif,” katanya.
Hasan Basri menyampaikan ada beberapa ketentuan peraturan perundangan-undangan berpotensi memperlemah sistem presidensial. Padahal keberadaan DPD RI telah membangkitkan harapan masyarakat di daerah.
“Di beberapa bidang kewenangan DPD RI masih sangat lemah. Seperti dalam Bidang Legislasi. Kewenangan DPD di bidang legislasi jelas sangat terbatas, dimana DPD RI dapat ikut mengusulkan dan membahas RUU di bidang tertentu tetapi tidak ikut dalam pengambilan keputusan akhir. Di Bidang Pengawasan, meskipun memperoleh fungsi, tugas, dan kewenangan pengawasan, namun sebatas memberikan masukan kepada DPR RI sebagai bahan pertimbangan,” tandas Hasan Basri.
Sangat disayangkan jika melihat pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur DPD RI. Wewenang DPD RI terbatas dan sempit, karena DPD RI hanya untuk memberi pertimbangan. Seolah-olah DPD RI hanya berposisi sebagai Dewan Pertimbangan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Tidak terbantahkan, UUD 1945 secara eksplisit telah memangkas penggunaan fungsi legislasi oleh DPD RI. Begitu juga turunannya yang diatur lebih lanjut dalam UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
“Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral yang umum dalam teori-teori ketatanegaraan, yaitu fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar secara berimbang (balance) dalam proses legislasi maupun pengawasan,” lanjut Hasan Basri.
Lebih jauh terkait dengan UU No 13 Tahun 2019 tentang MD3. Hasan Basri menilai di beberapa ketentuan yang tercantum dalam UU MD3 belum secara maksimal mengejawantahkan kewenangan DPD RI sebagaimana amanat UUD NRI Tahun 1945. Selain itu UU No 27 Tahun 2009 dianggap belum memenuhi amanat Putusan MK RI.
Adanya penguatan yang lahir melalui Putusan MK No 92/PUU-X/2012, telah mengembalikan kewenangan DPD RI dalam pemenuhan fungsi legislasinya.
“Namun, pasca putusan MK yang digantikan melalui UU No 27 Tahun 2009 tetap saja belum memuat ketentuan pasal-pasal yang mereduksi kewenangan konstitusional DPD RI UU MD3 yang seharusnya menjelaskan mengenai check and balances ternyata tidak memenuhi judicial intent yang dikehendaki oleh UUD NRI 1945,” ujar HB.
Hal senada disampaikan oleh Guru Besar Hukum Universitas Hasanudin, Abdul Razak, dimana jika peranan DPD RI sangatlah penting dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
“Peranan DPD RI sangatlah penting, namun ada ketimpangan dalam pengelolaan negara ini jika tak ada check and balances. Tujuan check and balances adalah untuk menghindari adanya konsentrasi kekuasaan pada satu cabang kekuasaan tertentu. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut menjadi urgensi perlu dilakukannya amandemen ke-5 UUD NRI 1945 untuk memperkuat masing-masing kelembagaan,” ujar Abdul Razak dalam paparannya.
Semangat untuk mengamandemen ke-5 UUD NRI 1945 pun disampaikan oleh Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Hasnawi Haris menyampaikan dinamika kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat terus mengalami dialektika.
“Formulasi negara hukum harus senantiasa adaptif dengan kondisi peradaban bangsa, khususnya ihwal peranan DPD RI sebagai aspirasi penyambung masyarakat. Jika perlu tugas dan kewenangan DPD RI diatur secara khusus, dalam artian tersendiri. Tidak digabungkan dengan UU MD3, yang mana UU MD3 lebih banyak mengatur kewenangan DPR, bukan kewenangan DPD,” pungkas Hasnawi Haris
Lebih lanjut Hasan Basri menyampaikan terkait gagasan mekanisme pencalonan Presiden dan Wakil Presiden haruslah memiliki relevansi terhadap prinsip negara hukum dan demokrasi.
Menurut Hasan Basri sistem pengisian jabatan Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 6A UUD NRI 1945 adalah salah satu bentuk batasan berdemokrasi.
“Dalam prinsip demokrasi konstitusional, tidak diperkenankan pembatasan-pembatasan mengebiri substansi demokrasi. Pemilu bukan hanya menjadi instrumen konversi suara menjadi kursi, tetapi lebih luas lagi maknanya karena juga dapat menentukan arah sistem pemerintahan yang dibangun di masa depan” ujar HB.
Hasan Basri menilai sistem pemerintahan yang diselenggarakan melalui pemilu akan menjadi penentu kapasitas demokrasi yang menggerakan sistem politik, termasuk mengelola partisipasi rakyat.
Menurutnya, pangkal tolak dalam membangun sistem pemilu yang demokratis adalah tidak lepas dari agenda amandemen konstitusi terutamanya terkait dengan prinsip penegakan kedaulatan rakyat.
“Terdapat dua pokok permasalahan yang menjadi urgensi dalam ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945. Pertama, tidak ada pembatasan dengan persentase untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Kedua, gagasan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden melalui jalur perseorangan memiliki relevansi terhadap prinsip negara hukum dan demokrasi. Relevansi ini dapat terlihat melalui mekanisme pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 justru kontradiksi dengan prinsip negara hukum yang demokratis,” ujar Hasan Basri.
Hasan Basri menilai dengan amandemen, akan membuat ketatanegaraan Indonesia semakin terstruktur dan terlegitimasi. Pemerintah nantinya akan semakin maksimal menjalankan programnya.
Selain itu, Hasan Basri menilai amandemen juga akan memperkuat dan memperjelas tugas dari lembaga perwakilan, memperkuat otonomi daerah, calon presiden perseorangan, serta pemilihan umum lainnya.
Menurut HB, amandemen UUD 1945 yang direncanakannya bertujuan untuk menyempurnakan yang sudah ada. Ia menjelaskan, ada beberapa prinsip dan komitmen yang disepakati dalam proses perubahan atau amandemen tersebut, yaitu tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematikanya, aspek kesejarahan, dan orisinalitasnya.
“Amandemen juga akan tetap mempertahankan bentuk negara kita sebagai negara kesatuan, dan tidak akan mungkin mengubahnya,” kata Hasan Basri.
Hadir di antaranya, Anggota DPD RI yang tergabung dalam Tim Kajian Politik Ketatanegaraan, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Makassar, Ketua dan Anggota Asosiasi Hukum Tata Negara, Perwakilan Akademisi Perguruan Tinggi Indonesia, Perwakilan Mahasiswa Program Doktor Universitas Negeri Makassar, dan lain sebagainya.
(Rel/dpd)