JAKARTA, AmanMakmur.com—Wakil Ketua DPD RI Mahyudin berharap ke depannya sistem bikameral (dua kamar) bisa berjalan sebagai mestinya untuk menciptakan mekanisme check and balances. Sejauh ini praktik sistem bikameral yang dijalankan antara DPR RI dan DPD RI dinilai masih jauh dari harapan.
“Sistem bikameral kita masih jauh dari harapan. Dimana dasar pemikiran pembentukan DPD RI untuk menciptakan check and balances belum tercapai,” ucap Mahyudin saat bertemu dengan Ketua DPD RI periode 2004-2009 Ginandjar Kartasasmita di Gedung PMI, Jakarta, Senin (23/8).
Pada kesempatan ini, Mahyudin didampingi oleh Ketua Kelompok DPD RI di MPR RI Tamsil Linrung, Ketua BKSP DPD RI Gusti Farid Hasan Aman, Ketua BULD DPD RI Pangeran Syarif Abdurahman Bahasyim, dan Wakil Ketua PURT DPD RI Hasan Basri.
Menurut Mahyudin bahwa dasar pembentukan DPD RI untuk menciptakan check and balances belum terwujud. Alhasil, sampai saat ini kewenangan DPD RI masih terbatas. “Padahal DPD RI mewakili teritorial atau daerah tetapi kami belum memiliki kewenangan sesuai harapan dari cita-cita para pendiri DPD RI yaitu Pak Ginandjar Kartasasmita ini,” tuturnya.
Bagaimanapun, DPR itu terbentuk melalui proses Pemilu, anggotanya dipilih dan mewakili kepentingan orang/ konstituennya. Dengan populasi penduduk Indonesia yang lebih tersentralisir di Pulau Jawa, maka secara otomatis wilayah di luar Pulau Jawa akan kurang terwakili secara seimbang.
Sedangkan DPD, terbentuk krn dipilih oleh rakyat di daerah untuk mewakili wilayah dalam hal ini 34 Provinsi secara merata. Inilah faktor yang harusnya bisa menjamin keseimbangan pembangunan secara adil dan merata, dengan catatan bahwa praktik kenegaraan yang diamanatkan oleh Konstitusi terhadap DPR dan DPD dapat diterapkan secara ideal.
Senator asal Kalimantan Timur itu juga berharap Ketua DPD RI periode 2004-2009 Ginandjar Kartasasmita dapat memberikan masukan atau saran untuk DPD RI. Sehingga ke depan kita dapat menciptakan sebuah sistem bikameral yang ideal. “Kita butuh masukan dan saran Pak Ginandjar agar DPD RI bisa lebih baik lagi ke depannya. Tentunya untuk menciptakan parlemen yang ideal,” harapnya.
Sementara itu, Ketua Kelompok DPD RI di MPR RI Tamsil Linrung mengatakan perlunya penataan ketatanegaraan Indonesia seperti penguatan DPD RI. Sejauh ini DPD RI hanya memberikan usulan atau pertimbangan namun tidak terjun langsung dalam pengambilan keputusan dalam pembentukan Undang-Undang.
“Memang setiap usulan dari DPD RI masuk dalam pertimbangan atau hanya diperhatikan. Namun usulan teknis dari DPD RI tidak terakomodir. Untuk itu kita tidak hanya cukup ide-ide formal, tapi harus ada ide baru seperti putusan politik dalam tingkat elit. Lantaran DPD RI tanpa kewenangan yang strategis, maka fungsinya menjadi kurang efektif,” tutur Tamsil.
Senada dengan Tamsil, Ketua Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI Pangeran Syarif Abdurahman Bahasyim menjelaskan secara umum fungsi DPD RI tidak maksimal. Oleh karenanya apa yang diharapkan oleh para tokoh pembentuk DPD RI belum dapat tercapai hingga saat ini.
“Kewenangan kita sampai saat ini belum sinkron dengan kedudukannya sebagai lembaga negara,” paparnya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPD RI periode 2004-2009 Ginandjar Kartasasmita mengatakan DPD RI harus belajar dari sejarah pembentukannya. Salah satunya, bahwa anggota DPD RI harus memiliki kekompakan dalam perjuangan amandemen.
Ginandjar Kartasasmita menambahkan kehadiran DPD RI ini adalah untuk menjadi kekuatan penyeimbang dalam sistem bikameral. Selain itu, kehadiran DPD RI juga untuk menyuarakan kepentingan daerah-daerah khususnya yang terpencil jauh dari hiruk pikuk kepentingan politik.
“Kehadiran DPD RI untuk mengimbangi, karena Indonesia bukan hanya negara besar tetapi negara yang memiliki keragaman budaya,” jelasnya.
Ginandjar Kartasasmita juga menilai bahwa terjadi ketidakjelasan dalam sistem demokrasi di Indonesia. Sistem demokrasi Indonesia dinilai buram karena masih anomali, kita menganut sistem presidensial tapi juga tidak murni, bukan juga sistem parlementer.
“Masih buram demokrasi kita. Kita presidensial bukan, parlementer juga bukan. Jadi ini demokrasi apa?,” paparnya.
(Rel/dpd)