PANDEMI Covid-19 seakan menghadirkan teka-teki tatanan dunia di antara dua sisi koin—menuju kemunduran interdependensi dan peningkatan nasionalisme atau justru menuju solidaritas global. Faktanya, Berbagai respon yang diambil negara dalam rangka merespon penyebarluasan virus Covid-19, telah mendistorsi perkembangan regionalisme kawasan, tak terkecuali kooperasi negara pada kawasan ASEAN. Tak hanya itu, kemandekan dan krisis ekonomi yang mengharuskan upaya rekonstruksi segera, turut mendorong lunturnya semangat regionalisme kawasan.
Lantas bagaimana pandemi akan mempengaruhi potensi kerjasama ekonomi regional kawasan ASEAN di masa mendatang? Akankah krisis ekonomi 2020 akibat pandemi, kembali menghantarkan ASEAN pada momen kegagalan pemenuhan tenggat waktu AEC 2015 deadline ditengah progres positif yang telah diraih AEC 2025 deadline sejauh ini? Atau justru krisis akibat pandemi menjadi momentum peningkatan solidaritas kawasan ASEAN?
Kilas AEC 2015 Deadline dan Agenda yang tidak Terselesaikan
Inisiasi atas pembentukan Asean Economic Community (AEC) deadline, didasari atas pandangan pesimis Asean Member State (AMS) akan kapabilitas WTO untuk mengupayakan pertumbuhan ekonomi yang cepat bagi negara anggotanya. Para pemimpin AMS berpandangan bahwa sulit bagi WTO untuk merepresentasikan kekhawatiran dan keberatan negara dengan tingkat ekonomi rendah, sebab terdapat 150 negara anggota dengan tingkat perkembangan ekonomi berbeda yang harus menjadi perhatian WTO (Das, 2015).
Oleh karenanya, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan ASEAN, para pemimpin AMS mengupayakan pembentukan pasar tunggal regional. Pembentukan pasar tunggal direalisasikan melalui pengurangan tarif dan perampingan prosedur administrasi perdagangan negara-negara yang secara optimis digadang akan mencapai targetnya pada 31 Desember 2015 melalui AEC 2015 deadline.
Setelah berproses selama lebih kurang satu dekade, AMS gagal dalam memenuhi targetnya dengan menunda 105 dari 506 langkahnya pada akhir 2015 (East Asia Forum, 2017). Sejatinya pada sektor perdagangan barang, anggota ASEAN-6 telah berhasil mereduksi tarif perdagangan intra-regional, dengan 99,2 persen jalur tarif pada 0 persen. Selain itu, dalam rangka penurunan biaya perdagangan, AMS telah menyederhanakan Rules of Origin (ROO), memberlakukan skema sertifikasi mandiri, single window dan national trade repository (NTR) untuk subset negara-negara ASEAN (Das, 2016).
Meskipun demikian, peningkatan pemberlakukan hambatan non-tarif (NTBs), serta kebutuhan perpanjangan waktu bagi negara CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam) untuk melakukan rekonstruksi ekonomi agar dapat beradaptasi dan memperoleh keuntungan dari pasar tunggal, menjadi tantangan yang tidak terelakkan dan menyebabakan AMS gagal dalam memenuhi tenggat AEC deadline pada akhir Desember 2015.
AEC 2025: Pembelajaran, Perbaikan dan Progres Positif
Namun, ketidakmampuan pemenuhan target AEC 2015 deadline dimaknai oleh AMS sebagai sebuah proses menuju integrasi ekonomi alih-alih sebagai sebuah kegagalan. AMS mendeklarasikan bahwa AEC telah ‘didirikan’ tetapi belum benar-benar direalisasikan dan tidak sesuai dengan tenggat waktu (East Asia Forum, 2017), oleh karenanya program penerus AEC 2025 deadline diadopsi pada KTT Asean ke-27.
AEC 2025 deadline mempertahankan visi dan tujuan kunci cetak biru sebelumnya, dengan penambahan pilar ‘peningkatan konektivitas dan kerjasama sektoral’, restrukturisasi atas judul dan sub-judul dari sebatas frasa aspirasional menuju implementasi yang diperlukan, serta secara eksklusif melibatkan aspirasi ‘orang’ (Das, 2016).
Perbaikan atas cetak biru AEC deadline dengan belajar dari ketidakefektifan implementasi cetak biru sebelumnya, tampak menuai hasil positif. Pasalnya, AMS telah memenuhi kurang lebih 50% karakteristik pada setiap pilar cetak biru AEC 2025 dan mayoritas sisanya telah berada pada progres pemenuhan (The ASEAN Secretariat, 2021).
Krisis Akibat Pandemi: Babak Baru Kemunduran AEC 2025 Deadline
Namun, kehadiran pandemi seakan menciptakan kemandekan atas pencapaian positif yang telah diraih AEC 2025 deadline dalam upaya pembentukan pasar tunggal regional. Respon yang diberikan AMS atas penanganan pandemi sejauh ini, cenderung terkonsentrasi di skala nasional alih-alih menghadirkan respon kolektif secara regional. Selain mengeluarkan join statement belum terdapat tindakan konkret kolektif dari ASEAN maupun ASEAN Plus Three (Sothirak, 2020).
Intensi iklim ‘ketakutan’ akan potensi penyebarluasan virus yang tidak laten menjadi alasan utama terputusnya rantai nilai regional di ASEAN. Faktanya, jika seorang pejabat dari satu negara ASEAN ingin mengunjungi negara lain, mereka hampir pasti akan dikarantina selama dua minggu dan tidak ada yang ingin bertemu mereka karena takut dianggap bertanggung jawab untuk menyebarkan virus (Vatikiotis, 2020).
Iklim ketakutan turut mendorong kecenderungan negara untuk menjalin kerjasama bilateral dengan negara yang angka positif Covid-19nya terkendali dibanding melakukan pemulihan bersama secara regional. Situasi demikian salah satunya tergambar melalui implementasi kebijakan karantina berbayar pada sektor pariwisata Australia. setiap warga negara lain—termasuk AMS—(kecuali Brunei Darussalam dan Selandia Baru) yang datang ke Singapura harus menjalani kebijakan stay at-home notice (SHN) dengan jangka waktu yang berbeda. Negara yang tergabung dalam Green / Fast Lane dan Air Travel Pass seperti China daratan, Australia (kecuali negara bagian Victoria), Macau, Taiwan, Vietnam, dan Malaysia cukup melakukan karantina selama 7 hari, sementara negara lainnya selama 14 hari (Wego, 2021).
Selain itu, transisi AMS menuju kecenderungan terhadap kerjasama bilateral disamping regional, juga dipengaruhi oleh tuntutan rekonstruksi ekonomi yang membutuhkan aksi sesegera mungkin. Mengingat kerjasama ekonomi negara ASEAN bersifat non–complementary, dimana hubungan antar komoditi yang diperdagangkan cenderung kompetitif dibandingkan komparatif akibat homogenitas produk yang diproduksi, maka pertahanan skema rantai nilai regional bukan merupakan pilihan terbaik bagi sebagian negara di tengah tuntutan dan desakan rekonstruksi ekonomi domestik. Semakin mesranya hubungan dagang Vietnam dan US di tengah perang dagang US-China merupakan gambaran nyata atas hal ini.
Kemunduran kerjasama regional ASEAN semakin diperparah dengan isu tenaga kerja migran. Ketegangan mewarnai relasi AMS terkait hak tenaga kerja migran dan bagaimana mereka diperlakukan selama pandemi. Saat ini, cukup banyak tenaga kerja murah yang disediakan oleh Indonesia dan Filipina untuk Malaysia dan Singapura, serta terdapat tiga juta pekerja Myanmar yang bekerja di Thailand (Vatikiotis, 2020). Jika isu ini tidak segera ditanggapi, maka akan terjadi penurunan mobilitas tenaga migran antar negara ASEAN pada masa mendatang.
Meskipun demikian, para pemimpin ASEAN cukup tanggap dalam menyuarakan aksi kolaboratif regional dan selalu berupaya mempertahankan capaian yang telah diraih oleh AEC 2025 deadline, salah satunya melalui skema mid-term dan the end-term review. Bagaimana sederet tantangan akibat kehadiran pandemi Covid-19 direspons, serta bagaimana pengaruhnya terhadap tenggat waktu pemenuhan AEC 2025 deadline merupakan sesuatu yang belum dapat dipastikan dan menarik untuk dinantikan hingga akhir 2025. *)
Referensi
Das, Sanchita Basu. (2015). AEC should be seen as a work in progress. Business Times.
Das, Sanchita Basu. (2016). Huge Challenges Await AEC 2025. ISEAS Perspective, 48, 1-9.
East Asia Forum. (2017). AEC 2025: Will The ASEAN Economic Community Finally be Realised? Retrieved 24 June 2021, from https://aecnewstoday.com/2017/aec-2025-will-the-asean-economic-community-finally-be-realised/.
Sothirak, Pou. (2020). Perspectives: No Time for ASEAN Members to Self-Isolate. Retrieved 24 June 2021, from https://asialink.unimelb.edu.au/insights/no-time-for-asean-members-to-self-isolate.
The ASEAN Secretariat. (2021). Mid-Term Review ASEAN Economic Community Blueprint 2025. Jakarta: ASEAN secretariat, pp.1 – 14.
Vatikiotis, Michael. (2020). COVID-19 exposes ASEAN’s fragility. Wego. (2021). Retrieved 24 June 2021, from https://asia.nikkei.com/Opinion/COVID-19-exposes-ASEAN-s-fragility.
Singapore Travel Restrictions & Quarantine Requirements. Can I Travel To Singapore? Definitive Guide. Retrieved 28 April 2021, from https://blog.wego.com/can-i-travel-to-singapore/.
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol), Universitas Gajah Mada (UGM).