BILA berbicara tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) online, tentunya sudah bukan hal yang baru. Apalagi, di saat pandemi Covid-19 masih menyelimuti kita semua, sistem PPDB sudah mutlak menggunakan teknologi informasi, meskipun 16 SMA/SMK di Sumbar dengan terpaksa menggelar PPDB offline karena berada di zona blank spot sehingga tidak tidak bisa melaksanakan PPDB secara online.
Tapi tampaknya, pelaksanaan penerimaan PPDB khususnya di Provinsi Sumbar, setiap tahunnya masih menuai berbagai polemik. Permasalahan PPDB online seperti tidak pernah beres meski telah berjalan sejak lama. Masalahnya pun masih hampir serupa dengan tahun-tahun sebelumnya. Tak ada perubahan yang signifikan dalam sisi manajemen pengelolaan maupun perbaikan sistem. Padahal, PPDB diatur dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021, lalu diturunkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub).
Sama-sama kita ketahui, aplikasi atau website pendaftaran PPDB Online Sumbar 2021 dengan alamat ppdb.sumbarprov.go.id, dibangun bukan melalui pihak ketiga atau vendor. Melainkan berkolaborasi dengan Dinas Kominfo dan Statistik dalam menyiapkan aplikasi atau situs web tersebut, hingga servernya disiapkan tersendiri oleh Diskominfo Sumbar.
Pada Senin (21/6) lalu, situs web PPDB untuk SMA/SMK di Sumbar sempat error selama 3 jam, mulai dari pukul 11.00 hingga 14.00 WIB situs tersebut tidak berfungsi sehingga mengakibatkan website tersebut belum bisa digunakan menjadi wadah untuk pendaftaran siswa SMA/SMK secara online. Saat terjadi error tersebut, laman website hanya menampilkan tulisan “Situs tidak dapat dijangkau. Pendaftaran.ppdb.sumbarprov.go.id membutuhkan terlalu banyak waktu untuk merespon. Coba periksa sambungan”.
Belum lagi kendala-kendala lain yang dialami oleh calon peserta didik baru untuk PPDB online kali ini. Seperti kartu unduhan tak terisi, foto tidak muncul, nilai sudah lengkap tapi dinyatakan belum lengkap, halaman login error dan keluhan lainnya yang sama-sama bisa kita lihat di kolom komentar Instagram @kominfosumbar. Hal ini tentu membuat tidak sedikit orang tua murid risau. Mereka tentu ingin anak-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik dari sekolah yang diinginkannya.
Menanggapi permasalah tersebut, Kepala Dinas Kominfo dan Statistik Sumbar, Jasman Rizal pun angkat bicara. Dirinya pun enggan menyalahkan sistem yang error. Menurutnya, situs web PPDB tersebut tidak bisa diakses karena sempat diserang hacker berkali-kali, hingga akhirnya bisa kendalikan oleh tim yang ada di instansi yang dipimpinnya. Sementara, permasalahan lainnya, pihaknya berpendapat karena sinyal yang kurang bagus di tempat pendaftar, serta pendaftar juga kemungkinan salah input data. Sekali lagi, kata beliau, ini bukan salah sistem.
Menang harus kita akui bahwa yang namanya sebuah sistem aplikasi atau sistem, server, jaringan, mustahil tanpa masalah. Terlalu banyak hal yang harus dikontrol dan bahkan bisa di luar kontrol kita sebagai manusia. Karena prinsipnya “No system is safe“. Ya, tidak ada sistem yang benar-benar aman. Tetapi, belum sepatutnya Kadis Kominfotik dengan cepat ‘mengambinghitamkan’ hacker. Jangan hanya asumsi semata, adakah pernyataan atau keterangan penyelenggara berdasarkan data? Sudahkah sistem analis dan sistem administrator mengevaluasi, sehingga didapat data teknis dan kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan?
Di sisi lain, saya juga sempat mendengar keluhan-keluhan dari petugas atau operator input data yang dilakukan oleh seluruh SMP, MTS dan sederajat yang siswanya lulus di sekolah masing-masing. Setiap server di-update oleh Dinas Pendidikan Provinsi, tiba-tiba data yang telah diinput, hilang begitu saja ditelan angin. Tentunya jika data siswa tersebut hilang, orang tua menyalahkan operator input data yang ada di sekolah tersebut.
Ada pula operator input data yang mengaku sudah 10 kali memperbaiki dan melakukan input data ulang, akibat data-data siswa tersebut tiba-tiba hilang begitu saja. Yang menjadi permasalahannya adalah, pihak Dinas Provinsi dengan enaknya saja menyebut bahwa situs tersebut diganggu oleh hacker, sehingga mengakibatkan data-data yang telah diinput tadi, hilang.
Saya tak sanggup membayangkan berapa letihnya jika memang benar operator tersebut harus menginput data hingga 10 kali. Anggap saja di satu sekolah, ada ratusan siswa yang lulus dan database-nya harus diinput untuk dapat melanjutkan proses PPDB online ini. Setiap mengisi data satu orang siswa, pasti banyak kolom isian yang harus diisi oleh operator. Sementara, untuk menginput ratusan data di satu sekolah tersebut, petugas operatornya sangat minim, bahkan hanya satu atau dua orang per sekolah.
Yang menjadi pertanyaan, apakah di sistem tersebut tidak ada cadangan atau backup database siswa yang telah diinput oleh operator-operator tersebut? Jika ada, tentunya jika database tersebut hilang, setidaknya cadangan database tersebut dapat dipulihkan, sehingga operator input data di sekolah-sekolah tidak harus bersusah payah melakukan input data ulang.
Menurut saya, PPDB online semestinya menjadi gate peradaban dalam meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air ini. Betapa tidak, ini semua menyangkut masa depan anak bangsa. Fenomena kali ini membuat saya kembali bertanya-tanya. Bukankah semestinya pemerintah berperan sebagai regulator sekaligus fasilitator untuk menyiapkan arah guna menyeimbangkan penyelenggaraan pembangunan melalui penerbitan peraturan-peraturan?
Sebagai regulator, bukannya pemerintah seharusnya hanya memberikan acuan dasar kepada eksekutor sebagai instrumen untuk mengatur segala kegiatan pelaksanaan dalam perancangan dan implementasi sistem tersebut? Mengapa pemerintah memaksakan untuk berperan menjadi regulator sekaligus eksekutor?
Seperti yang pernah saya sampaikan di tulisan saya tentang PPDB tahun lalu, menurut saya seharusnya Pemerintah Provinsi tidak perlu ikut campur tangan dalam pembuatan sistem website PPDB Sumbar 2020 ini. Mengapa Panitia PPDB Online Sumbar dan Dinas Pendidikan Sumbar tidak menyerahkan perancangan dan implementasi sistem website ini sepenuhnya kepada eksekutor (dalam hal ini pihak ketiga atau vendor)? Bukannya alangkah baik jika seperti itu? Jika ini diterapkan, tentu pemerintah bisa membuat regulasi yang jelas kepada vendor dalam pengerjaan sistem ini. Jika vendor melanggar regulasi, kan bisa dengan menempuh jalur hukum. Sesederhana itu bukan?
Dalam hal ini, saya sama sekali tidak meremehkan atau tidak mempercayai tenaga IT di Diskominfotik Sumbar yang membangun situs website PPDB Sumbar 2021 ini. Dan melalui tulisan ini, saya sedikitpun tidak bermaksud untuk menggurui. Justru saya berpikir, seharusnya tim IT yang ada di Dinas Kominfo dan Statistik Sumbar tidak membuat aplikasi semacam ini. Tetapi alangkah baiknya mereka dikerahkan sebagai auditor, dalam hal ini memantau vendor yang merancang dan membangun sistem tersebut agar sesuai dengan aturan dan target yang diinginkan.
Di samping bisa memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) IT yang ada, mungkin salah satu faktor yang memberatkan untuk memberikan proyek atau pembangunan sistem PPDB ini adalah anggaran. Lalu, muncul pertanyaan baru. Memang seberapa mahal anggaran yang harus disiapkan jika ingin menyerahkan pembangunan sistem ini kepada vendor? Memang seberapa efektifnya penggunaan anggaran jika pembangunan sistem ini tetap dilakukan di internal Dinas Kominfo dengan memanfaatkan tim IT yang ada?
Lihat saja, rata-rata Pemprov lainnya seperti Provinsi Lampung, Nusa Tenggara Timur (NTT), DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Tengah (Jateng), Kalimatan Timur (Kaltim), Bali, Sulawesi Selatan (Sulsel), Kalimantan Selatan (Kalsel), dan provinsi lainnya. Dalam menyiapkan perancangan aplikasi dan infrastruktur jaringan internet yang memadai, mereka menggandeng pihak ketiga atau vendor agar benar-benar yakin dan siap saat pelaksanaannya. Sebab, mereka menyadari, akses internet sering kali menjadi keluhan masyarakat dari seleksi yang berbasis teknologi dalam jaringan (daring atau online).
Mungkin jika Pemprov Sumbar menggandeng vendor-vendor ‘besar’ seperti PT Telkom untuk menyediakan aplikasi dan jaringan memadai pada penyelenggaraan PPDB, bisa memakan anggaran yang besar. Tapi, apakah vendor-vendor lokal tak sanggup? Saya yakin, vendor lokal sanggup, mereka mampu, bahan dengan anggaran minim sekalipun. Saya yakin, pos anggaran untuk itu, sudah sangat jelas.
Setahu saya, dalam membangun atau mengembangkan sebuah sistem, ada beberapa tahapan yang harus dilewati dalam proses pembangunan sistem tersebut. Dalam bahasa IT, tahapan itu biasa disebut dengan System Development Life Cycle (SDLC), atau yang dalam bahasa Indonesia bisa kita artikan sebagai sebuah siklus dari pengembangan sistem.
Pada dasarnya, SDLC ini berisi beberapa tahapan yang menggambarkan mengenai siklus dari sebuah sistem yang dibangun. Di antaranya, analisis sistem, spesifikasi kebutuhan sistem, perancangan sistem, pengembangan sistem, pengujian sistem, serta implementasi dan pemeliharaan sistem.
Tiap-tiap tahapan itu tentunya memiliki bidang atau divisi yang berbeda-beda. Seperti dalam perancangan sistem, kita membutuhkan konsultan. Kemudian juga dibutuhkan analis sistem yang salah satunya berperan mencoba penetration test (pengujian), hingga dalam pengimplemetasiannya. Itulah sebenarnya standar persyaratan yang harus dilalui dalam pembangunan sebuah sistem di dunia IT.
Pertanyaan sederhananya, apakah sistem website PPDB Sumbar 2021 sudah melalui penetration test? Apakah situs web PPDB Sumbar 2020 sudah dicoba untuk menampung pengguna dalam waktu sekaligus (realtime) sebanyak para calon siswa? Apakah situs web PPDB Sumbar sudah diaudit oleh auditor yang berasal dari internal dan eksternal? Karena ini akan menjadi momok, ketika website atau aplikasi diluncurkan, jika tidak melalui tahapan-tahapan seperti itu, bisa-bisa dibobol hacker atau implementasinya tidak sesuai dengan rancangan.
Apalagi, setiap sistem atau aplikasi pemerintahan e-government, sebaiknya harus lulus uji atau melalui proses audit secara komprehensif dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), mulai dari infrastruktur, teknis, tata kelola, standarisasi sistem, semuanya itu ada analisanya. Mestinya, ini yang harus menjadi perhatian kita bersama. Jangan sampai sistem informasi PPDB online tidak memiliki standar minimum. Dengan kata lain, sistem dalam penyelenggaraan PPDB online tersebut asal cukup pakai. Jangan bicara soal security atau keamanan sistem, tapi harus ada sistem berstandarkan dengan ISO 27000 tentang standar keamanan sistem. Mekanisme ini harus jelas. Artinya bagaimana membangun kepercayaan publik bahwa sistem ini aman.
Singkat saja, kejadian ini mestinya kita jadikan pelajaran yang mahal, sekaligus mengambil hikmah di balik semua ini. Mestinya antara regulator dan eksekutor, harus dipisahkan. Jika regulator, ya regulator saja. Eksekutor, ya eksekutor saja. Semoga permasalahan yang dialami saat ini segera teratasi dan tidak terulang lagi di lain waktu. Hendaknya berkaca dan belajar dari pengalaman yang ada. *)
Penulis merupakan Wartawan Muda, di media khazminang.id (Khazanah Group) dan alumni Politeknik Negeri Padang pada jurusan Teknologi Informasi.