JAWA TENGAH, AmanMakmur.com —Tim Ahli Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K) Komite II DPD RI menyelenggarakan Studi Empiris bekerja sama dengan Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Selasa (4/5), secara daring dan luring, dimana penelitian empiris ini dalam rangka melengkapi tahapan penyusunan draf naskah akademis RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang SP3K.
Adapun hasil diskusi pada kegiatan tersebut akan dijadikan referensi bagi Komite II DPD RI dalam penyusunan RUU usul perubahan UU SP3K.
Turut hadir sebagai peserta aktif, para akademisi dari beberapa universitas, seperti Universitas Negeri Sebelas Maret, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Lampung, perwakilan penyuluh, mahasiswa tingkat S2 dan S3, serta dinas terkait dari Provinsi Jawa Tengah.
Kegiatan ini diselenggarakan untuk mendiskusikan permasalah terkait penyelenggaraan SP3K, kebutuhan pengaturan SP3K, kebutuhan pengaturan mengenai implementasi SP3K yang lebih baik ke depannya, serta alternatif sistem penyuluhan pangan dan pertanian.
Seperti yang diketahui bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) menjadi kendala untuk mengimplementasikan amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.
Hal tersebut dikarenakan UU Pemda tidak memperkenankan adanya Badan Koordinasi Penyuluhan dalam Satuan Kerja Pemerintahan Daerah.
“Disharmonisasi kedua regulasi tersebut mengakibatkan terjadinya krisis dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan khususnya untuk masyarakat perdesaan yang sangat membutuhkan penyuluhan” ujar Prof Dr Ir Sumardjo, salah satu narasumber dalam kegiatan studi empirik ini.
Narasumber selanjutnya, Ir Mulyono Machmur, MS, mengusulkan pembentukan forum koordinasi penyuluhan. “Sebagai tawaran solusi, perlu membentuk kelembagaan non-struktural dalam bentuk forum tingkat nasional dan daerah. Di tingkat pusat, forum koordinasi penyuluhan dapat diketuai oleh Menko Perekonomian”, ungkapnya.
Dr Sapja Anantanyu, SP, MSi yang menjadi narasumber berikutnya mengemukakan perlu adanya penguatan sistem penyuluhan pertanian. “Penguatan sistem penyuluhan pertanian dapat dilakukan dengan merevisi UU SP3K menggunakan perspektif yang lebih luas. Hal ini dapat dibarengi dengan penguatan kelembagaan dan mekanisme kerja penyuluhan pertanian melalui koordinasi tingkat pusat dan daerah; peningkatan profesionalitas penyuluh; dan optimalisasi peran penyuluh swadaya” ujarnya.
Selain isu kelembagaan penyuluhan, hal lain yang perlu dikritisi adalah kriteria penyuluh yang diperlukan dalam era revolusi industri 4.0. Sebagaimana diungkapkan oleh Eny Lestari, sebagai narasumber terakhir, “Era industri 4.0 menuntut kreativitas penyuluh, bukan keseragaman cara memberikan penyuluhan dari tingkat pusat hingga daerah. Sehingga, diperlukan metode penyuluhan yang paling tepat baik untuk petani konvensional maupun petani milenial”.
Kegiatan studi empiris ini merupakan salah satu proses yang harus dilakukan untuk menyerap aspirasi masyarakat dari pemangku kepentingan terkait sebagai bahan penyusunan RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K).
(Rel/dpd)