JAKARTA, AmanMakmur.com —Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi memimpin Kunjungan Timja Otsus Papua dalam rangka Revisi Undang-Undang (UU) Otsus Papua. Revisi diharapkan mampu menjamin tegaknya kewenangan khusus dalam kerangka Otonomi Khusus.
Kewenangan Otsus yang belum ada batasan yang tegas bagi pemerintah provinsi untuk mendukung segala kebijakan daerah sesuai tujuan Otsus.
Selain itu, masalah tumpang tindih UU maupun Peraturan Pemerintah (PP) yang dikeluarkan melalui Kementerian / Lembaga kurang mendukung posisi UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua dan Papua Barat.
Hal ini terangkat dalam pertemuan Tim Kerja Otsus Komite I DPD RI di Kantor Gubernur Papua Barat, Kamis (18/3).
Tim Kerja Otsus Papua dipimpin langsung oleh Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi, didampingi oleh Wakil Ketua Komite I, Djafar Alkatiri, dan dihadiri oleh Filep Wamafma Dapil Papua Barat, Husain Alting Syah Dapil Maluku Utara, Abdurahman Abubakar Bahmid Dapil Gorontalo, dan Jialyka Maharani Dapil Sumsel.
Rombongan Timja Otsus diterima langsung oleh Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan. Turut hadir Ketua DPR Papua Barat, Orgenes Wonggor, Ketua Fraksi Otsus Papua Barat, George Dedaida, Ketua Majelis Rakyat Papua Barat, Maxsi Nelson Ahoren, Dewan Adat Papua Barat, Kepala Bappeda, Kabiro Pemerintahan, dan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi Papua Barat.
Dalam sambutannya, Ketua Komite I, Senator Razi mengapresiasi atas penyambutan Gubernur, MRPB, dan DPRPB, Dewan Adat dan sejumlah pejabat daerah saat menerima Timja Otsus Papua.
Razi menyatakan bahwa kehadiran Timja Otsus ke Papua Barat dalam rangka mendapatkan masukan pembahasan RUU perubahan Otsus Papua yang akan dibahas segera.
“Kami berharap dalam forum ini mendapatkan banyak masukan yang konstruktif dan kesepahaman bersama antara DPD RI dengan pemerintah dan masyarakat Papua Barat dalam upaya mewujudkan kesejahteraan di tanah Papua,” lanjutnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah mengambil inisiatif untuk melakukan Perubahan atas UU Otonomi Khusus Papua melalui Surat Presiden yang telah ditembuskan kepada DPD RI tanggal 4 Desember 2020 dalam rangka pembahasan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Dalam surat bernomor R-47/Pres/12/2020 tersebut ditegaskan bahwa pembahasan RUU ini menjadi prioritas utama untuk segera dibahas dan disahkan bersama.
Bahwa, Komite I ditugaskan untuk menyusun pandangan terhadap RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Komite I telah membentuk Tim Kerja yang akan membahas pandangan terhadap draft RUU tersebut serta akan terlibat aktif dalam pembahasan RUU secara tripartit bersama DPR RI dan Pemerintah.
Fachrul Razi mengatakan revisi terbatas hanya bibit baru konflik di Papua, tanpa revisi menyeluruh, tidak akan memberikan solusi komprehensif kepada Papua.
“Revisi Otsus Papua harus menjamin kewenangan Papua, adanya partai politik lokal, adanya Komnas HAM dan KKR di Papua serta anggaran dana Otsus yang jauh lebih besar,” tegas Fachrul Razi yang juga Senator asal Aceh.
Sementara itu, Senator Djafar Alkirti menambahkan bahwa dalam proses pembahasan, Timja Otsus memandang perlu adanya penyempurnaan terhadap UU 21 Tahun 2001 ini. Rencana untuk melakukan revisi terbatas ini, merupakan bagian dari upaya penyediaan payung hukum dan jaminan akan keberlanjutan percepatan pembangunan di Papua melalui Dana Otonomi Khusus.
Akan tetapi, revisi yang dilakukan tidak dibatasi hanya pada tiga pasal saja sebagaimana draft yang ada.
“Tim Kerja UU Otsus Papua ini masih akan terus melakukan pendalaman dalam penyusunan pandangan terhadap RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, untuk kemudian draft pandangan dimaksud dapat dimintakan pengesahan pada Sidang Paripurna untuk dapat segera kita kirimkan ke DPR RI,” tegas Djafar.
Sedangkan Senator Filep Wamafma yang berasal dari Papua Barat, menekankan akan pentingnya keadilan sebagai inti dari semua persoalan yang terjadi di Papua atau Papua Barat. Proses politik tetap berjalan di tingkat nasional hendaknya tetap memberikan perhatian terhadap masukan-masukan yang berasal dari daerah termasuk dari Papua Barat.
Dengan adanya rencana pemekaran, pemerintah perlu mempertimbangkan Alokasi Dana Otsus sebesar 2,25% dalam draft RUU yang sudah beredar tersebut.
“Kami berharap momentum revisi UU Otonomi Khusus tidak hanya sebatas untuk memperpanjang keberlakuan Dana Otonomi Khusus, melainkan juga dijadikan momentum untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di Papua melalui kebijakan yang tepat yang tertuang dalam revisi ini nantinya, sebagaimana apa yang Pansus Papua DPD RI telah rekomendasikan,” ucap Senator Filep.
Dalam paparannya, Gubernur Papua Barat menyatakan pentingnya dialog dan menerima masukan dalam rangka revisi UU Otsus. Khusus untuk Papua Barat bahwa keberlakuan UU Otsus di Papua Barat dimulai sejak tahun 2009. Dan dalam rangka revisi tersebut, Pemda Papua Barat sudah melakukan dialog dan berbagai pertemuan dalam rangka memberikan masukan terkait revisi UU Otsus. Pertemuan juga digelar dengan melibatkan pemda kabupaten/kota, DPR Papua Barat, Majelis Rakyat Papua Barat, dan Dewan Adat.
Gubernur juga menyampaikan sejumlah rekomendasi terkait kewenangan khusus, antara lain pemilihan kepala dan wakil kepala daerah, kelembagaan khusus di tingkat kabupaten/kota sebagai perpanjangan provinsi dalam mengatur dan mengurus kewenangan khusus, pengangkatan pegawai OAP 80% dan 20% non OAP, kewenangan kelembagaan diatur dengan Pedasus/Perdasi dan Dana Tambahan Infrastruktur perlu ditetapkan dengan prosentase yang jelas.
Ketua DPR Papua Barat menyatakan bahwa kewenangan adalah hal yang penting. Tuntutan merdeka karena persoalan kewenangan bukan persoalan uang dan bukan persoalan pemekaran. Jika hanya bicara dua pasal maka tidak akan bisa menyelesaikan persoalan yang terjadi di Papua dan Papua Barat.
Pemerintah Pusat kurang memberikan perhatian serius untuk menyelesaikan persoalan Papua dan Papua Barat.
Ketua DPR Papua Barat menambahkan bahwa akan menolak mengikuti pembahasan jika hanya revisi difokuskan pada 2 pasal yaitu pasal tentang Dana Otsus dan pasal tentang Pemekaran.
“Pekerjaan yang besar adalah bagaimana Revisi UU Otsus mampu menyejahterakan masyarakat Papua/Barat”, lanjutnya.
Ketua Majelis Rakyat Papua Barat menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan beberapa kegiatan dalam rangka memberikan masukan terhadap draft revisi UU Otsus yang sedang dibahas tersebut. Majelis Rakyat Papua Barat telah mempersiapkan sejumlah pokok-pokok pikirdan dan draft revisi UU Otsus, akan tetapi hal ini belum dapat disampaikan dengan baik karena minimnya dialog dan harapan untuk melakukan dialog dengan sejumlah lembaga negara.
“Kami meminta diberikan ruang berdialog dengan DPD RI dan DPR RI serta lembaga negara lainnya. Sepakat akan perlunya UU 21/2001 disempurnakan dalam rangka memperbaiki seluruh aspek kehidupan dan pembangunan di Papua dalam rangka menyejahterakan masyarakat Papua,” tukuknya.
Sedangkan Dewan Adat Papua yang diwakili oleh Dewan Adat Domberai Raya menyatakan bahwa revisi UU Otsus harusnya fokus pada pasal 43 bukan pada pasal 34 sebagaimana draft yang beredar sebagai bentuk perlindungan.
Menekankan pentingnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan pembentukan Komnas Perlindungan. Perlunya pemanfaatan pertanahan untuk sebesarnya bagi pengembangan kebudayaan, sosial, dan kesejahteraan Masyarakat (hak ulayat adat). Dan kewenangan pertanahan diatur dengan Perdasus/Perdasi.
Fraksi Otsus DPR Papua Barat mengingatkan bahwa revisi yang hanya terjadi sekali dalam 20 tahun itu hendaknya dilakukan menyeluruh tidak hanya sebatas 2 atau tiga pasal saja karena akan sangat sulit mempertanggugjawaban kepada masyarakat jika hanya sebatas 2 atau 3 pasal saja sementara untuk melakukan revisi lagi harus menunggu 20 tahun kemudian.
Pertemuan ini ditutup dengan penyerahan sejumlah dokumen dan hasil-hasil pertemuan yang dilakukan oleh Pemprov Papua Barat dalam rangka revisi Otsus. Sementara dari Majelis Rakyat Papua Barat menyerahkan sejumlah pokok-pokok pikiran dan draft revisi RUU Otsus yang berasal dari masukan masyarakat. Sedangkan Timja menyerahkan Berupa Buku hasil dari Pansus Papua.
(Rel/DPD-RI)